Jumat, 17 Desember 2010

Hitler Diduga Mati di Indonesia

Hitler Diduga Mati di Indonesia

Judul Buku: Rahasia yang Terkuak, Hitler Mati di Indonesia
Penulis: Ir. KGPH. Soeryo Goeritno, M.Sc
Penerbit: Titik Media Publisher
Tahun Terbit: Juli 2010
Jumlah Halaman: 121
                                          
                                                                                                                                    
Kematian sang diktator Nazi, Hitler hingga kini masih menjadi sebuah misteri yang belum terkuak. Walaupun belum ada kepastian yang menyingkap misteri kematian Hitler, buku ini  memberikan persepsi (dari berbagai sumber) bahwa Hitler pernah berada di Indonesia. Hitler pun diduga mati di Indonesia.

Bab Satu, Pendahuluan: Buku ini memang bukan merupakan buku sejarah, tetapi sebuah buku yang mengungkapkan sisi lain dari sejarah kelam yang dialami oleh bangsa Eropa, khususnya bangsa Jerman pada masa Perang Dunia ke II yang penuh dengan kekejaman yang pernah terjadi pada umat manusia.

Dari sekian banyak informasi yang ada tentang kematian Hitler, tidak ada yang dapat menyebutkan secara pasti apa penyebab kematian sang diktator Nazi ini. Versi yang paling populer menyebutkan bahwa Hitler tewas bunuh diri dengan cara menembak dirinya sendiri dan minum racun sianida pada 30 April 1945, saat Jerman diduduki oleh Uni Soviet. Meski sejumlah ahli sejarah ragu Hitler menembak dirinya, dan menduga hal itu hanyalah propaganda Nazi untuk menjadikan Hitler sebagai pahlawan. Namun, lubang pada potongan tengkorak itu tampak menguatkan argumen tersebut ketika tengkorak itu dipamerkan di Moskow tahun 2000. Bagaimana dan kapan Hitler meninggal sekarang ini masih diselimuti misteri.

Bab Dua, Misteri Kematian Hitler: Berisi beberapa pendapat mengenai kematian Hitler; versi Jerman, versi Rusia, dan versi para peneliti atau ilmuwan. Dari sekian banyak informasi yang ada tentang kematian Hitler, tidak ada yang dapat menyebutkan secara pasti apa penyebab kematian sang diktator Nazi ini. Versi yang paling populer menyebutkan bahwa Hitler bunuh diri dengan cara menembak dirinya sendiri dan minum racun sianida pada 30 April 1945, saat Jerman diduduki oleh Uni Soviet. Itu menurut versi Jerman, seperti yang diceritakan oleh Flegel, salah satu perawat Hitler dan petinggi Nazi lainnya saat di dalam bunker.

Menurut versi Rusia, yang dinyatakan oleh seorang pejabat tinggi dinas rahasia Rusia, KGB, yang mengklaim, bahwa Adolf Hitler mengakhiri hidupnya tidak dengan menembak dirinya sendiri, tetapi dengan meminum racun sianida. Seperti yang dinyatakan oleh Letnan Jenderal Vasily Khristoforov, staf arsip untuk dinas keamanan FSB Rusia, “Paramedia militer Uni Soviet kala itu telah memastikan bahwa Hitler dan Eva Braun tewas setelah minim racun sianida pada 30 April 1945.”

Versi lainnya adalah menurut pendapat umum, dalam hal ini diwakili oleh para ilmuwan. Sudah lama sebenarnya para ilmuwan dan ahli sejarah menyatakan bahwa potongan tengkorak yang telah diambil dari luar bunker Hitler oleh tentara Rusia dan selama ini disimpan intelijen Soviet itu akan menjadi bukti yang meyakinkan bahwa menembak dirinya hingga tewas setelah minum pil sianida pada 30 April 1945. Akhirnya dilakukan analisis DNA terhadap potongan tengkorak itu oleh peneliti Amerika, dan mereka menyatakan, “kami tahu tengkorak itu berhubungan dengan seorang perempuan berusia antara 20 dan 40 tahun,” kata ahli arkelogi Nick Bellantoni dari Universitas Connecticut, AS, dikutip dari Dailymail. “Tulang itu kelihatan sangat tipis, tulang tengkorak laki-laki cenderung lebih kuat. Dan persambungan di mana lempengan tengkorak itu menyatu tampak berhubungan dengan seseorang yang berusia kurang dari 40 tahun. Hitler pada April 1945 berusia 56 tahun.

Dengan adanya hasil tes DNA tersebut, berarti sejarah kematian Hitler menjadi sebuah misteri kembali, dan para ahli teori konspirasi harus memikirkan kembali kemungkinan-kemungkinan lain tentang kematian Hitler, seperti mungkin saja Hitler tidak mati dalam bunker.

Bab Tiga, Sekilas Tentang Adolf Hitler: Mengular masa kecil, masa remaja, sampai dengan ketika menjadi seorang diktator. Hitler kecil adalah seorang anak yang tertolak, ayahnya sangat membencinya dan mengenggap perilakunya yang antisosial sebagai sebuah kutukan. Ayahnya seorang yang keras dalam mendidik anak, sedang ibunya (Klara) sangat baik kepadanya. Di usia 18 tahun, Hitler sudah menjadi yatim piatu. Masa kecil yang diliputi dengan kebencian dari ayahnya inilah yang memberikan andil besar dalam pembentukan mental dan kejiwaan Hitler saat dewasa.

Ketika Perang Dunia I pecah, Hitler mendaftar menjadi tentara dengan pangkat Kopral, bertugas di medan perang di barisan paling depan. Kecewa dengan kekalahan Jerman di Perang Dunia I, Hitler pun masuk menjadi Anggota Partai Buruh yang kemudian menjadi NSDAP (National Socialistische Deutsche Arbeiter Partei).

Tahun 1920, Hitler menjadi Kepala Bagian Propaganda, di sinilah terlihat bakat Hitler di bidang pidato dan agitasi. Satu tahun kemudian, 1921, akhirnya Hitler menjadi ketua partai. Akhirnya pada tahun 1962 Hitler mendapatkan wewenang mutlak dari partainya. Hitler adalah seorang orator ulung,”singa podium”, ahli pidato yang bisa menghipnotis massa pendengarnya. Hitler adalah politikus handal dan berhasil membangun pencitraan yang sukses melalui propaganda. Ia berhasil membangun opini menjadi sebuah kekuatan dahsyat yang sukses melalui propaganda. Ia berhasil membangun opini menjadi sebuah kekuatan dahsyat yang ditakuti. Ia juga berhasil membangun opini sebagai fuhrer atau pemimpin yang dapat dipercaya rakyatnya, membawa bangsanya ke puncak kejayaan.

Bab Empat, Bukti-Bukti Hitler di Indonesia: Dalam bab ini mengulas bagaimana caranya Hitler sampai ke Indonesia, bisa menjadi Warga Negara Indonesia (WNI), dan bekerja menjadi seorang dokter di Rumah Sakit Umum Sumbawa Besar, dan sampai dengan pertemuan Hitler dengan seorang wanita sunda (Sulaesih) yang akhirnya menjadi istrinya. Juga tentang kesaksian dr. Sosro Husodo saat bertemu dengan Hitler ketika di Sumbawa Besar. Dan semuanya dilengkapi dengan dokumen-dokumen pendukung serta foto-foto yang akurat.

Hitler yang terkenal sangat bengis di abad ke-20, ternyata bersembunyi di Indonesia sejak tahun 1954 sampai dengan tahun 1970, yang kemudian tercium oleh Sekutu (AS, Uni Soviet, Inggris dan Perancis) yang selanjutnya diusut oleh Pemerintah Israel yang terus-menerus mengejar para tokoh Nazi.

Pada tahun 1954 Adolf Hitler masuk ke Indonesia dengan menggunakan nama palsu, dr. Poch. Pada awalnya dr. Poch tinggal di Dompu lalu pindah ke Bima, selanjutnya pindah ke Kabupaten Sumbawa Besar, kemudian bekerja menjadi dokter di Rumah Sakit Umum Kabupaten Sumbawa Besar. Seluruh penduduk pulau Sumbawa Besar. Seluruh penduduk pulau Sumbawa kenal dengan dokter ini, yang di panggil “dokter Jerman”.

Salah satu peninggalan Adolf Hitler meninggal pada tanggal 15 Januari 1970 di Surabaya, yaitu buku catatan kecil berwarna cokelat ukuran 9x16 cm dengan tebal 44 cm. Buku ini mempunyai arti yang sangat besar, karena merupakan bukti otentik yang menyatakan bahwa “dr. Poch” adalah dewa Nazi, Adolf Hitler.
Kemudian Hitler bertemu dengan seorang gadis bernama Sulaesih yang sedang menggembara ke Sumbawa Besar, yang akhirnya dilamar oleh Hitler. Tidak lama setelah dr Poch melamar Sulaesih, ia memeluk agama Islam pada tahun 1964, yang disaksikan oleh Ketua Kantor Agama di Sumbawa, (tapi sayang Sulaesih lupa namanya) dan mengganti namanya menjadi Abdul Kohar. Pada tahun 1965 Hitler pun menikahinya.

Bab Lima, Hitler Mati di Indonesia: Bab ini berisi tentang pengakuan Hitler kepada istrinya yang berasal dari Indonesia, Sulaesih, bahwa dia adalah memang Hitler yang sebenarnya, Der Fuhrer. Apa saja kegiatan Hitler sebelum dia meninggal? Di dalam bab ini juga terdapat pernyataan Stanlin, bahwa yang tewas di dalam bunker di Jerman bukanlah Hitler asli. Dan di bagian akhir ini menceritakan bagaimana akhirnya sang diktator itu meninggal di Indonesia.

Selama ini kematian Hitler memang sangat misterius, karena tidak ada saksi yang dapat menunjukkan dimana jenazah Hitler ataupun jenazah Eva Braun. Di Konferensi Postdam tahun 1945, Stanlin menyatakan bahwa jenazah Hitler dan Eva Braun tidak ditemukan. Stanlin menduga, dewa Nazi ini lolos dan melarikan diri ke Spanyol atau Amerika Latin. Tak lama ada kabar yang mengatakan Hitler kabur menggunakan kapal selam ke sebuah pulau. Tapi tidak ada yang tahu pulau apa dan dimana. Dunia internasional sama sekali tidak menyadarinya bahwa seorang pemimpin Nazi yangn sangat kejam itu bersembunyi dengan aman di Sumbawa Besar, sampai meninggal di Surabaya dan dimakamkan di pemakaman umum muslim di Ngagel.

Bab Enam, Penutup: Kematian Diktator Jerman, Adolf Hitler yang diyakini tewas bunuh diri di sebuah bunker, pada tanggal 30 April 1945 di Berlin, tetap masih dipertanyakan dan menjadi misteri. Siapa yang menyaksikan peristiwa di bunker saat Hitler bunuh diri? Tidak ada, sumber cerita tersebut hanya dari mulut ke mulut. Dan pada saat itu, walaupun tidak ada saksi dan bukti yang jelas, pihak sekutu tetap mengumumkan secara resmi bahwa Hitler dan istri, Eva Braun telah meninggal. Bukan tidak mungkin Hitler mati di Indonesia. Karena Indonesia dianggap tempat yang aman, bagi Hitler. Silahkan siapa pun untuk menemukan jawaban yang sesungguhnya.






"Reportase Investigasi, Menelisik Lorong Gelap", Oleh Dadi Sumaatmaja

I. Rangkuman
Prolog

Di masa lalu, pemerintah kerap mengkhawatirkan pemberitaan media massa. Alasannya sederhana, media massa dapat merubah dan menciptakan opini di masyarakat luas. Celakanya, umumnya wartawan ketika itu, dianggap hanya membesar-besarkan kekurangan pemerintahan dan pemberitaannya tidak faktual – hanya berdasarkan isu yang belum dicek kebenarannya. Walaupun harus diakui, pemerintah masih banyak memiliki kekurangan.

Di satu sisi, pemerintah sangat membutuhkan media massa untuk menyosialisasikan kepentingannya. Apalagi ketika itu pemerintah tengah getol berupaya menciptakan situasi yang aman, agar aktivitas pembangunan berjalan lancar. Sudomo mengistilahkan kondisi di masa orde baru itu, sebagai: “ada pers repot, tak ada pers juga repot”.

Saat Sudomo menjabat sebagai Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), ada kebijakan yang diambilnya – dan tidak populer – saat meletus peristiwa Malari. Kebijakan yang diambilnya, yaitu membekukan penerbitan media massa. Di antaranya, harian Kompas dan Sinar Harapan. Menurutnya, kebijakan yang diambilnya ini adalah pendekatan kekuatan sebagai persuasif, persuasif sebagai kekuatan. Sudomo menilai, situasi keamanan pasca peristiwa Malari masih belum stabil. Sementara pemberitaan media massa, menurutnya, tidak mendukung terciptanya situasi yang lebih baik. Sebaliknya, pemberitaan pers malah terkesan memanaskan situasi. Saat itu Sudomo mengakui tengah menghadapi masalah dilematis seperti yang telah ditulis diatas tadi: “ada pers repot, tak ada pers juga repot”. Maka dari itu, kebijakan pembekuan surat kabar tersebut diambil olehnya.

Lebih jauh, menurutnya, dasar kebijakan pelarangan terbit itu adalah represif untuk preventif. Sebab pers memiliki peran menghasut, maka harus ditertibkan tanpa harus melalui pengadilan. Inilah pengertian represif untuk preventif. Pertimbangan lainnya, masyarakat belum memiliki wawasan yang baik secara merata. Disisi lain, tingkat intelektualitas masyarakat pers-nya juga belum merata. Ada wartawan lulusan sarjana, tetapi banyak juga yang hanya tamat SMA, bahkan ada yang cuma mengecap bangku sekolah dasar. Karena itu, tak heran kalau banyak wartawan yang asal menulis dan tidak melakukan check and rechek atas informasi awal yang diperolehnya.

Kendati demikian, kebijakan pemerintahan ketika itu, hanya sebatas pelarangan terbit dalam jangka waktu tertentu, tidak dengan cara menutup penerbitan persnya. Bahkan secara umum, dalam periode 1974 hingga tahun 1993, pemerintah cukup memberikan keleluasaan kepada wartawan.

Tekanan terhadap media massa lebih terasa pada tahun 1993 hingga tahun 1998. Pada periode itu, tekanan terhadap pers disebabkan kebijakan Harmoko yang ketika itu menjabat Menteri Penerangan. Di masa Harmoko pula, tahun 1994, dilakukan pemberangusan terhadap Majalah Tempo, Editor dan Tabloid Detik. Jangan lupa, Harmoko adalah orang pers juga.

Kebijakan pemberangusan Majalah Berita Tempo, Majalah Berita Editor dan Tabloid Detik, tahun 1994, dilakukan langsung oleh menteri penerangan. Menurut Sudomo, ada dua latarbelakang, mengapa pembredelan itu sampai terjadi.

Pertama, kantor Menko Polkam tidak berfungsi. Semestinya kalau berfungsi, sebelum kebijakan itu dikeluarkan terlebih dahulu dibahas rapat menteri di jajaran polkam. Kedua, persoalan visi orang yang mengambil keputusan itu. Muncul masalah dan tidak dapat dikendalikan. Akhirnya diputuskan mengambil kebijakan represif.

Kebijakan pemberangusan ketiga media massa itu, sangat erat kaitannya dengan konteks kondisi politik ketika itu. Di masa itu, Harmoko selain sebagai Menteri Penerangan, juga menjabat Ketua Umum Golkar. Golkar terobsesi ingin menang mutlak, mendapatkan 75 persen perolehan suara dalam Pemilu.

Jadi sebenarnya, kebijakan pemberedelan itu tidak pernah datang dari Pak Harto, melainkan dari menteri yang bersangkutan. Yang bertanggungjawab dalam pemberedelan ini adalah Menko Polkam dan Menpen ketika itu. Sementara sidang kabinet hanya dilaporkan saja. Biasanya dalam sidang kabinet, presiden hanya mengatakan, “yah, oke, supaya mengambil langkah-langkah lebih lanjut.”

Lalu, lain persoalan tentang pers menurut Sudomo. Ia menulis merasa dekat dengan wartawan, tetapi ia juga pernah dibuat semena-mena oleh mereka. Perlakuan ini diperolehnya saat kasus korupsi Golden Key Group dengan tersangka Edy Tanzil sedang hangat-hangatnya. Menurutnya, wartawan bukan menulis kasus (korupsi Golden Key Group), tetapi memiliki target sendiri. Targetnya, mereka ingin menjatuhkan dirinya.

Padahal dalam kasus ini, menurutnya, ia hanya berperan memberi referensi kepada Edy Tanzil. Pemberian referensi ini sudah diatur dalam undang-undang perbangkan nomor 12, yang secara garis besar mengatakan, “jika seseorang akan mengajukan kredit ke bank, maka membutuhkan surat referensi.”
Itu artinya, jika ada referensi tidak serta merta bank langsung mengucurkan dananya. Soal pemberian kredit juga ada aturan mainnya sendiri dan diatur secara hukum.

Tetapi, menurut Sudomo, pers seolah menutup mata. Ia melihat, pers ingin menghantam dirinya, karena ia pernah mengeluarkan kebijakan pembekuan penerbitan beberapa media massa di tahun 1974.

Menurutnya, begitulah pers. Jika seorang pejabat tersandung skandal atau suatu kasus, mereka senang. Mereka langsung mem-blow up tanpa melakukan checking. Normal memang. Tetapi yang ia kritik, wartawan tidak pernah menjelaskan duduk persoalan dari kasusnya itu sendiri.

Jejak Langkah
Buku ini jauh dari pemaparan teori-teori, amat tidak ilmiah. Buku ini hanya mengisahkan proses pencarian Dadi Sumaatmadja dan beberapa jurnalis dalam memahami investigative reporting atau reportasi investigasi. Terlebih buku ini amat subjektif.

Subjektif, karena motivasi menulis buku ini pun sangat subjektif. Berawal dari kegelisahan mencari dan tidak menemukan referensi teoritis maupun praktis seputar reportase investigasi. Hal itu mengusik Dadi untuk memberanikan diri menuturkan berbagai pengalamannya selama beberapa tahun menekuni reportase investigatif.

Menurut Dadi, boleh jadi, banyak kawan jurnalis lainnya lebih lama menekuni dunia ini ketimbang dirinya. Bisa jadi, banyak junior atau senior-nya yang telah menghasilkan karya investigasi yang luar biasa. Tetapi yang membuat dirinya gelisah, hingga detik ini, ia tak pernah menjumpai sebuah buku yang membahas reportase investigasi. Celakanya, tak seorang reporter investigasi pun yang mau berbagi cerita mengenai pengalamannya selama menekuni dunia itu.

Awal Langkah
Suatu hari, di akhir 1997, senior Dadi, Masduki Baldawi, mengajaknya bergabung dengan sebuah majalah baru, dwimingguan Tajuk. Di majalah baru itu, Masduki menawarinya untuk memegang rubrik Investigasi. Ketika Masduki menyebutkan label rubrik itu, dirinya sungguh terkejut. Terkejut, karena, menurut Dadi, hal ini merupakan tantangan besar baginya.

Rubrik investigasi itu akan disajikan setiap edisi. Tiap dua minggu sekali. sebuah pekerjaan besar yang amat menantang. Menantang, sebab manajemen Tajuk sudah menetapkan policy, bahwa rubrik Investigasi tidak akan menyentuh isu-isu klise. Isu-isu seputar pelacuran dan masalah-masalah sosial harus dihindari. Isu semacam itu dinilai lebih banyak memberikan guidance yang kurang mendidik bagi para pembaca.

Dadi tidak memperdulikan kebijakan itu. Ia lebih tertarik kepada palagan reportase investigasinya, ketimbang harus bertele-tele memperdebatkan kebijakan itu. Walaupun kebijakan redaksi seperti itu sesungguhnya masih bisa diperdebatkan. Masalah-masalah sosial dan susila tidak harus menjadi picisan. Selama cara penyajian dan sudut pandang tulisan tepat, kesan murahan dapat dihindari.

Kelamin Tajuk: James Bond
Tajuk diidentikkan layaknya agen legendaris asal Inggris di dunia layar lebar: James Bond. James Bond adalah sosok hero yang selalu main di tingkat atas, elegan, penuh percaya diri, penuh pesona dan playboy (“buaye” – Muhammad Ashari). Penampilannya flamboyan dan glamour. Ia jago berkelahi, banyak akal dan selalu menang.

Dengan sosok seperti itu, Tajuk dirancang. Sebagai majalah baru, Tajuk didesain dengan tiga pilar utama: Berita, Investigasi dan Infotainment. Menurut Dadi, Tajuk adalah sebuah majalah berita dan investigasi yang serius dan elegan, namun kaya dengan nuansa hiburan dan seni. Juga, wanita. Seperti Bond-lah.

Membentuk Tim Investigasi
Dua reporter sudah disiapkan untuk memperkuat tim investigasi. Mereka adalah Hartono dan Sulton Mufit. Dadi terkejut mendengar nama itu, karena ia belum mengenal mereka. Namun, ia tidak punya pilihan lain. Pertama, reporter yang ada memang masih terbatas. Kedua, ia tidak punya jago lain. Dan ketiga, secara etis tidaklah beralasan untuk menolaknya.

Ganjalan terutama adalah karena Dadi belum mengenal lebih jauh kedua reporter ini. Padahal, menurut hematnya, sebuah tim investigasi akan tangguh bila satu sama lain saling mendukung dengan ‘kekuatan’ yang hampir merata. Punya karakter dan visi. Dan, yang lebih penting, bisa bekerja sama dalam sebuah tim dengan tuntutan kerja yang amat keras. Sembari semuanya berproses, Dadi meminta kepada Masduki agar diberi sedikit waktu untuk mencari anggota tim lainnya. Anggota yang, sedikitnya, menyukai bidang reportase investigasi. Bisa bekerjasama. Dan, yang terpenting, orang itu tergolong tipe fighter.

Mencari Tipe Fighter
Mengapa tipe fighter? Sebab tuntutan Tajuk amat obsesif. Ingin menerbitkan reportase investigasi setiap edisi, dua pekan sekali. Dalam tempo 14 hari, kita harus menemukan sebuah item investigasi dan menggarapnya dengan tuntutan ideal. Dengan selera seperti ini, mau tidak mau, harus bekerja cepat, ulet dan harus fight setiap hari. Tuntuan itu hanya bisa dijawab oleh orang yang punya drive tinggi.

Kebetulan, sesama redaktur di Tajuk, Nanang Junaedi, menyodorkan nama Ibnu Antok. Dari informasi yang Dadi peroleh, Antok adalah jurnalis muda tipe fighter. Dia pekerja keras, ulet, kepercayaan dirinya tinggi dan masih muda. Nama Antok pun ia ajukan kepada Masduki. Diterima.

Tim yang ia pimpin kini diperkuat tiga reporter: Hartono, Sulton Mufit dan Ibnu Antok. Rupanya, satu orang saja tidak cukup untuk memulai kerja tim. Ada satu hal yang belum banyak diketahui. Yakni, apa sebenarnya reportase investigasi itu, bagaimana penjabaran dan pola operasinya di lapangan.

Dalam kepala mereka, laporan investigasi itu adalah membuat berita secara lengkap dan rinci. Kalau bisa, dilengkapi dengan dokumen pendukung. Sesederhana itukah? Diskusi tentang wajah investigasi, berikut tuntutan investigasi ala Tajuk, memang sempat menyita banyak waktu di masa awal.

Kendati secara garis besar disimpulkan bahwa investigasi menyangkut masalah yang belum terungkap, dalam banyak hal, awal Tajuk belum begitu mendalami reportase investigatif.

Seperti air mengalir. Pada awalnya, gerak kerja tim amat lamban. Sekian lama di lapangan, harus diakui, cara kerja tim masih amburadul. Utamanya, dalam penelusuran masalah. Tim belum punya pola dan sistem kerja, begitu pula strategi. Liputan tim masih lebih banyak digerakkan oleh naluri. Target hanya terpusat kepada dokumen. Dalam penelusuran, tim hanya berupaya menjawab semua hal yang belum jelas dari persoalan yang dihadapi.

Satu-satunya andalan hanyalah insting dan manuver di lapangan. Tidak jarang, tim bekerja berdasarkan perkembangan masalah di lapangan. Bila ada pertanyaan dari kasus yang tengah diungkap, maka kami putuskan untuk menjawabnya dengan penelusuran.

Bahan yang sudah diperoleh kemudian dituangkan dalam bingkai cerita secara rinci. Itulah sementara yang kami yakini sebagai sebuah berita investigasi.

Hari demi hari, energi tim semakin terasa terkuras. Tim investigasi tidak cukup Ia dan Antok. Perlu ada suntikan serdadu baru. Manajemen Tajuk setuju. Antok menyodorkan sebuah nama: Wahyuana. Ia pernah bekerja sebagai wartawan tabloid Peron. Sebelum menekuni dunia jurnalistik, beberapa tahun ia bergelut sebagai aktivis LSM.

Namun ada satu ganjalan. Saat Antok menyodorkan namanya. Dia belum menyelesaikan kuliahnya. Manajemen Tajuk awalnya agak keberatan dengan latar belakang pendidikan Wahyuana. Seperti media besar lainnya, wartawan harus berpendidikan minimal sarjana.

Dadi menyodorkan argumentasi kepada manajemen Tajuk. Toh, menurutnya, Ibnu Antok – yang terbukti tangguh dan dipuji banyak teman pers lainnya – bukan pula seorang sarjana. Ia hanya lulusan SLTA. Dengan argumentasi seperti itu, juga garansi dari Dadi, bahwa Wahyuana dapat dipertanggungjawabkan kualitasnya, manajemen Tajuk membuka pintu baginya.

Selang sebulan, anggota tim bertambah satu lagi. Ia adalah Rahmat Yunianto. Rahmat adalah mantan wartawan Majalah Berita Mingguan Tiras, tempat Dadi bekerja sebelum pindah ke Tajuk.

Tim kini diperkuat empat orang. Menurut Dadi, tim ini adalah yang paling ideal. Pekerja keras, drive tinggi, militan, tangguh di lapangan. Setiap orang saling mengisi, saling menjaga dan terbuka satu sama lain.
Pada masa awal tim ini bekerja, setiap diskusi, Wahyuana dan Rahmat tidak banyak berperan. Pembahasan masih banyak didominasi Dadi dan Ibnu Antok. Ini tidak sehat jika terus berlanjut.

Untuk mengubah itu, akhirnya, ia menerapkan sistem baru. siapa yang menguasai permasalahan suatu kasus, maka dialah yang menjadi project officer atau PO. Dia memimpin rapat, memimpin diskusi. Mau tak mau, ketika Wahyuana atau Rachmat bertindak sebagai PO, mereka memimpin rapat dan memaparkan persoalan yang akan diangkat.

Dadi selalu mengatakan kepada mereka, jadilah investigator yang baik. Ia harus sombong dalam tanda petik. Punya kepercayaan diri tinggi, serta selalu tenang dalam berbagai kondisi. Terbukti cara itu efektif. hanya dalam hitungan pekan, Wahyuana dan Rachmat sudah mulai rajin bicara.

Kendati begitu, mesti diakui, cara kerja tim kami masih amat serabutan pada masa-masa awal. Ini lantaran tim masih belum menemukan pola investigasi yang tepat. Sembari berjalan, kami mencari bentuk format dan model selidikan yang efektif dan efisien. Karenanya, setiap bertemu intel, serse atau informan, Dadi selalu menanyakan tentang cara kerja mereka.

Satu hal yang khas tentang cara kerja mereka: ketajaman ingatan untuk mengingat hal-hal yang penting. Ketajaman ingatan sangat berguna bagi reporter investigasi. Terutama, ketika melakukan penyamaran. Karena pada saat itu, kita tidak dapat mengeluarkan buku catatan dari saku, apalagi tape recorder. Satu-satunya andalan adalah daya ingat.

Selain itu, ada hal lain yang berguna untuk reportase investigasi. Yakni, maping. Maping adalah pemaparan masalah dengan cara yang lebih sederhana. Caranya, dengan membuat peta persoalan dalam bentuk gambar. Semacam gambar sebuah pohon. Apa yang belum diketahui dilewati dan diberi tanda tanya. Sampai kemudian terbentuk sebuah ‘pohon masalah’ yang gamblang, mulai dari akar sampai pucuk tertinggi dari pohon itu.

Tanda tanya itulah yang perlu diselidiki dan dicari jawabannya. Setelah semua semua tanda tanya dijawab, maka amat mudah dan transparan sekali bagi kita untuk melihat sebuah bangunan pohon masalah secara utuh. Dari gambaran masalah yang sudah jelas, kita membuat laporan atau tulisan secara rinci dan lengkap.
Komitmen adalah pegangan sebuah tim investigasi. Ada sejumlah ‘garis’ yang mesti dipatuhi anggota tim dan tidak boleh dilanggar. Pertama, setiap anggota harus membeberkan secara transparan semua temuan yang diperolehnya dilapangan. Tidak terkecuali, termasuk informasi yang oleh sumber dinyatakan off the record.
Kedua, sikap yang keras untuk menolak segala bentuk iming-iming dari semua narasumber. Baik berupa amplop maupun berbagai bentuk hadiah barang. Jika ada yang melanggar, maka sangsinya amat jelas: pemecatan.

Pada akhirnya, yang terlibat dalam tim investigasi umumnya orang-orang yang memiliki bakat tertentu dalam hal penyelidikan. Karena tidak semua reporter memiliki bakat seperti itu. Reporter selidikan tidak murni sebagai seorang jurnalis. Dia adalah gabungan antara seorang jurnalis dan seorang petualang: tidak mudah putus asa, selalu ingin tahu. Dan yang terpenting, dia adalah seorang penyidik.

Sepotong Sejarah Investigasi
Reportase investigasi sudah lama populer di dunia pers. Usianya bahkan sama tuanya dengan keberadaan media massa itu sendiri.
Istilah reportase investigasi populer belakangan ini. Sebelum itu, ada dikenal istilah muckcracking journalism, yang populer sekitar tahun 1902-1912.

Istilah tersebut kian populer, setelah tokoh pers dunia: Josep Pulitzer berseteru dengan Presiden Amerika Serikat, Theodore Roosevelt. Ketika itu, Pulitzer – pendiri the Columbia University School of Journalism – membongkar kasus suap dalam pembelian tanah untuk Kanal Panama, yang diduga berkaitan dengan Roosevelt.
Pulitzer wafat tahun 1911, pada usia 64 tahun. Namanya diabadikan sebagai penghargaan karya jurnalistik paling prestisius bagi jurnalis berprestasi di dunia.

Reportase investigasi berkibar lagi tahun 1974, menyusul munculnya karya investigasi dua wartawan harian The Washington Post yang menghebohkan dunia. Carl Bernstein dan Bob Woodward, demikian nama wartawan itu, berhasil membongkar penyelewengan dana pemilu Partai Demokrat yang menjagokan Richard Nixon sebagai Presiden Amerika Serikat. Demikian monumentalnya, karya mereka diterbitkan dalam buku All The President’s Men, yang kemudian diangkat ke layar lebar.

Karya Bernstein dan Woodward itu pula yang mengilhami didirikannya paguyuban reporter dan editor reportase investigasi terkemuka: Investigative Reporters and Editors Inc (IRE), di Kolombia, Amerika Serikat, tahun 1975.

Sejarah reportase investigasi di Indonesia cukup muram dan panjang. Selama dua masa kepemimpinan nasional, baik di masa Orde Lama dan Orde Baru, reportase investigasi lebih banyak dipandang penguasa sebagai buah terlarang. Lebih-lebih, bila laporan selidikan menyangkut masalah politik dan ekonomi, yang terkait dengan kepentingan dan policy orang yang berkuasa.

Serupa tapi tak Sama
Pembaca seringkali merasa kesulitan membedakan antara in-depth reporting dan reportase investigasi. Untuk jelasnya, penting diketahui, bahwa berita di media massa dapat dipilah menjadi tiga jenis. Yakni: reportase investigasi, pelaporan mendalam dan berita langsung.

Reportase investigasi adalah suatu bentuk pencarian berita dengan cara penelusuran. Ia sangat mengandalkan bukti-bukti material, baik berupa dokumen maupun dari kesaksian. Dokumen dimaksud berupa data-data faktual yang menggambarkan terjadinya suatu masalah yang tengah diselidiki. Sementara kesaksian berupa pengakuan dari sumber berita, yang terlibat secara langsung dalam perkara yang diselidiki.
Reportase investigasi memiliki beberapa ciri, antara lain: jumlah paragraf, struktur dalam penulisan, aktualitas dan gaya bahasa yang disampaikan teramat bebas.

Lain halnya dengan pelaporan mendalam. Ciri menonjol dari berita jenis ini, beritanya tidak basi lantaran tidak mengikuti berita yang sedang hangat. Jumlah paragraf berkisar antara 10 sampai 25 paragraf. Bentuk penulisannya seperti piramida: diawali dari hal-hal ringan, kemudian diikuti dengan bagian penting cerita pada bagian tengah dan akhir tulisan.

Kriteria tersebut sangat bertolak belakang dengan berita langsung atau straight news. Jumlah paragraf berita langsung biasanya, antara 3 sampai 10 paragraf. Struktur atau susunan penulisannya berbentuk piramida terbalik: informasi paling penting ditaruh di awal tulisan, sedangkan informasi penguat dan penjelas disampaikan kemudian.

Kata investigatif sebenarnya berasal dari bahasa Latin: vestigium yang artinya jejak kaki. Sedang kata reporting berasal dari bahasa Latin: reportare, yaitu membawa sesuatu dari suatu tempat. Paul N. Williams, menerjemahkan vestigium dengan menganalogikan wartawan yang memburu berita siang malam untuk mendapatkan predator. Williams, dalam hal ini, menganalogikan wartawan sebagai pemburu. Si reporter mengikuti jejak langkah sang predator ke mana pun pergi: memanjat pohon, mengamati ada apa di balik bebatuan, untuk mendapatkan tanda keberadaan predator.

Dadi memandang, reportase investigasi sebagai metodologi pencarian berita secara mendalam, mendetail dan tuntas, serta seluruh data yang disajikan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Oleh karena itu, bukti material adalah suatu keharusan untuk diperoleh.

Sedangkan berita berkedalaman adalah satu jenis penulisan berita yang ditulis secara mendalam. Berita berkedalaman tidak menuntut fakta yang detil. Biasanya, berita berkedalaman tidak dibuat untuk membongkar suatu masalah. Teknik menyamar, karenanya, amat jarang digunakan.

Reportase investigasi adalah sebuah metode jurnalistik dengan cara penelisikan atau penyelidikan. Gunanya, untuk mengungkap informasi yang tersembunyi dan ditutup-tutupi, baik yang dilakukan individu maupun institusi pemerintah dan swasta. Kekuatan metode ini terletak pada: “getting the facts and getting them right”.
Karenanya, ciri utama dari reportase investigasi adalah kasusnya masih tersembunyi. Masih misterius. Penelisikan diperlukan karena kasus yang masuk kriteria investigasi ibarat sebuah gunung es yang berdiri di tengah lautan. Yang tampak hanya sebagian kecil puncaknya, sementara batang tubuhnya tenggelam tak terlihat di bawah samudera. Semua itu mesti dibuka dengan serangkaian data dan fakta yang sahih dan valid. Fakta yang sudah teruji, setelah disaring sedemikian rupa di lapangan.

Ciri lain dari reportase investigasi adalah membutuhkan waktu lumayan panjang untuk sampai pada titik akhir pengungkapan. Mulai dari penemuan masalah, pemetaan masalah, terjun ke lapangan hingga penulisan akhir sebelum naik cetak. Banyaknya waktu dan tenaga, lantaran kasus investigasi berada ‘di bawah permukaan’ alias belum banyak diketahui publik. Informasi yang digali bukanlah kisah rutin yang sudah terbuka di depan publik.

Menulis hasil investigasi menjadi tulisan ‘siap baca’ pun memerlukan waktu tersendiri. Karena banyak data dan fakta, berikut hubungan satu sama lain, yang perlu diselaraskan.

Kebijakan beberapa media yang menerbitkan hasil investigasi secara berkala – umumnya setiap minggu – terlalu obsesif. Karena tidak mungkin menghasilkan sebuah liputan ivestigasi yang baik dan ideal dalam kurun waktu sesingkat itu. Idealnya, reportase investigasi diterbitkan secara insidental. Ia baru muncul apabila sebuah hasil investigasi sudah dirasakan memadai dan memenuhi syarat.

Karena membutuhkan waktu, maka idealnya reportase investigasi dikerjakan sebuah tim dengan anggota yang memadai. Luasnya skala masalah, banyaknya sumber, aneka kendala – semuanya membutuhkan konsentrasi dan penangan tersendiri – hanya dapat diselesaikan dengan baik oleh sebuah tim yang secara kuantitas dan kualitas memenuhi syarat.

Godaan untuk memanipulasi pada penulisan laporan investigasi, sungguh sangat terbuka. Ia bagaikan magnit besar yang siap menyedot para reporter investigasi untuk melakukan tindakan tak terpuji. Apalagi kesempatan untuk mengakali tulisan kesempatan untuk mengakali tulisan sangat mudah, yakni dengan meminjam kata teramat sakti nan kramat, “Menurut sebuah sumber yang sangat dipercaya…,” Atau, “menurut seorang pejabat di instansi anu yang enggan disebut namanya…” dan beberapa trik lainnya.

Membuat laporan investigasi haruslah amat berhati-hati dan berdasarkan kepada data dan fakta, tanpa pernah melibatkan emosi dan subyektif di dalamnya. Para reporter investigasi hanya membeberkan fakta-fakta.

Ciri lain dari reportase investigasi adalah kedetilan dalam penulisan berita. Selain berguna utnuk mencerahkan publik, cara seperti ini juga penting untuk menghindari salah tafsir – terutama dari pihak yang terkait dengan tulisan kita.

Penggambaran secara mendetil acapkali membutuhkan laporan yang panjang. Untuk itu, tulisan dibagi menjadi beberapa bagian. Bagian pertama tulisan, yang menggambarkan suasana makro dari kasus yang kita angkat, dipaparkan pada bagian pertama. Pada bagian berikutnya, fokus tulisan lebih bersifat mikro.

Informasi yang mendetil dan lengkap ini tentu saja amat bermanfaat bagi pembuat kebijakan. Yakni, mereka atau institusi yang membawahi kasus yang kita garap. Dengan mengetahui penyimpangan dari hasil investigasi kita, bolehlah kita berharap, pembuat kebijakan mengambil tindakan.

Ciri lainnya adalah mengungkap penyimpangan dan penyelewengan secara total. Spirit ini tidak boleh diterjemahkan secara bebas. Misalnya, kita mengungkap sesuatu hanya lantaran ada tendensi: dengan penuh amarah, dendam kesumat dan sinisme. Karena siapapun obyek investigasi, kita tetap menempati posisi yang berjarak – baik dengan obyek maupun subyek masalah. Filosofinya, mengungkap sebuah persoalan secara total hingga tuntas. Meneliti kebijakan, membongkar penyimpangan, guna diketahui secara luas oleh publik.

Oleh karena mengungkap penyimpangan dan penyelewengan sebuah kasus, maka hasil dari reportase investigasi idealnya harus bertampak kepada perubahan. Dengan membaca, diharapkan pihak yang terkait dengan obyek yang diinvestigasi, ikut tergugah. Lalu, tergerak untuk mengatasi persoalan yang tengah terjadi.

Dengan demikian, ciri lain reportase investigasi adalah adanya spirit bahwa hasil investigasi ini akan berdampak bagi publik umumnya. Kita boleh berharap, bahwa dari sana akan terjadi perubahan yang cukup mendasar – sebagai koreksi total terhadap penyimpangan sebelumnya. Kalaupun tidak ada kebijakan baru, sedikitnya, penyimpangan yang sama tidak terulang lagi di masa mendatang.

Dampak reportase investigasi sudah harus dipikirkan sejak pertama kali kasus yang akan diinvestigasi digodok. Ini diulang kembali sesaat sebelum hasil investigasi disiarkan kepada publik. Langkah tersebut penting dilakukan, untuk melihat celah gugatan yang mungkin timbul setelah hasil investigasi dipublikasikan.

Ciri berikut reportase investigasi adalah ketegasan dalam menentukan target liputan. Jangan sekali-kali terpengaruh hal-hal subjektif. Saya punya pengalaman kurang baik dalam menentukan target investigasi.
Sebagaimana berita umumnya, reportase investigasi memiliki criteria. Sebuah kasus terkadang merangkum semua kriteria yang ada. Kadang pula hanya mengandung satu atau beberapa kriteria. Kriteria dimaksud adalah eksklusifitas, kontroversial, berdampak luas, unsur ketokohan yang kuat dan berskala besar.

Saatnya Terjun ke Lapangan
Seorang wartawan, pertama sekali, diukur dari kemampuannya bekerja di lapangan. Seorang wartawan tidak mengenal istilah :pensiun turun ke lapangan, meskipun sudah menjadi pemimpin redaksi sekali pun. Ada beberapa tahapan yang mesti dilewati setiap wartawan agar dapat menghsilkan investigasi yang memenuhi standar:

Menangkap Informasi Awal
Informasi awal biasanya diperoleh dari jaringan atau lobi yang sudah dibangun atau dibina. Kadang juga dokumen didapatkan dengan cara pencurian, tapi cara seperti ini sebaiknya diurungkan. Lebih baik dengan cara mmbujuk si relasi atau membeli dokumen tersebut. Bermodalkan informasi awal kita mulai merancang sebuah investigasi.

Data Sekunder
Data sekunder adalah data hasil riset tentang isu yang tengah kita garap itu. Sumbernya bisa lewat media yang pernah menulis masalah tersebut, atau sumber-sumber ‘tak resmi’ yang bekerja di seputar isu tadi.
Sambil mengumpulkan data sekunder, kita bisa memperkuat informasi awal dengan mengontak nara sumber pendukung yang mengerti isu tersebut. Lewat sumber pendukung kita sekaligus mengecek kebenaran info yang kita terima dari tangan pertama. Semakin banyak sumber pendukung semakin baik.

Perlu Riset Sekunder
Langkah yang paling mudah dan efisien adalah mengakses internet. Lalu ke perpustakaan jika kurang. Riset literatur sangat penting untuk mengetahui fenomena kasus serupa yang pernah terjadi sebelumnya. Dari sana, kita bisa membandingkan modus operandi dan juga kaitannya dengan berbagai persoalan lainnya.

Saatnya Menggambar Pohon

Setelah permasalahan dipahami baru kita melakukan maping atau pemetaan persoalan. Inilah ajang melakukan eveluasi dan saling melengkapi informasi dari semua orang dalam tim investigasi. Harus dilakukan secara detil sekali.

Persoalan kasus yag akan digarap akan digambarkan seperti sebuah pohon. Isinya apa yang menjadi pokok permasalahan, siapa saja yag terlibat, hubungan mereka satu sama lain. Akan terlihat apa yang sudah jelas dan bagian mana yang masih bolong dalam pohon tersebut. Pemetaan dilakukan dengan berdiskusi dan berdebat, agar ‘pohon masalah’ menjadi semakin transparan. Kita bisa mempertajam fokus dan target yang dituju, agar tidak melebar kemana-mana. Karena tidak jarang, begitu peta digelar, akan muncul hal-hal baru yang saling mengait.

Pohon Rindang Tempat Bertanya
Semakin rindang kita membuat ‘pohon masalah’, semakin lengkap pengetahuan kita atas persoalan. Beberapa maanfaat pohon tersebut antara lain:
·    Lebih memudahkan kita memahami persoalan
·    Sangat membantu di saat kita akan menulis persoalan tersebut.
·    Kita dapat melihat celah kelemahan kita dari hasil investigasi kita bila dipublikasikan. Sehingga kita sudah dapat memprediksi dan mengantisipasi jika individu atau institusi yang merasa dirugikan atas tulisan kita melayangkan somasi.
·    Sebagai penuntun dalam proses investigasi
·    Sebagai faktor paling menentukan ketika mengambil keputusan.

Insting, Asumsi, dan Hipotesa
Hipotesa dibuat berdasarkan analisis sementara terhadap informasi di lapangan, dokumen-dokumen yang diperoleh, serta riset komparasi terhadap data sekunder dan studi literatur.
Asumsi dan hipotesa bisa dibangun dengan insting. Dgan insting, tingkat kehati-hatian kita terhadap pemberi dokumen menjadi lebih tinggi.

Saatnya Terjun ke Lapangan
Penelisikan dimuali. Semua anggota tim turun, bekerja sesuai pembagian kerja yang ditentukan saat maping. Ada dua jenis fakta yag harus dikejar, yaitu ’fakta material’ dan ’saksi kunci’.
Fakta material adalah dokumen tertulis yang bertalian erat dengan kasus. Misalnya kuitansi, memo dinas, nota pribadi, dsb. Sedangkan, saksi kunci berupa kesaksian dari sumber berita. Orang yang disebut saksi kunci atau sumber utama adalah mereka yang tahu secara langsung tentang kasus tersebut. Mereka terlibat dalam masalah. Bisa satu orang, bisa juga lebih.Saksi kunci menempati posisi terpenting, karena melalui mereka kita dapat mengembangkan dan memperlaus laporan, menagkap pemetaan secara menyeluruh juga siapa-siapa saja yang terlibat dalam masalah itu.

Jangan Lupa Observasi
Ada beberapa cara untuk membuat hasil observasi yang baik, salah satunya melalui undercover dan berperan sebagai pengamat yang baik terhadap situasi yang tengah berkembang. Kesabaran dan kejelian adalah kuncinya.

Kembali ke Titik Nol
Dengan segepok fakta yang kita peroleh, kita tidak boleh langsung menelannya tanpa diuji lebih lanjut. Kita perlu memriksa ulang dengan kembali mengurut pada informasi awal. Jika tidak ada perubahan, maka hasil reportase investigasi dianggap oke. Artinya siap disajikan dalam bentuk tulisan.

Merapikan Dokumen
Organisasi file sangat penting, terutama bila dikemudian hari muncul gugatan dari pihak yang merasa dirugikan dengan berita yang diangkat.
Kita bisa menyusun file berdasarkan kronologis, spesifikasi masalah dan kasus. File harus disimpan di tempat yang menurut kita sangat aman. Ini sangat penting jika di kemudian hari ada pihakyang merasa dirugikan dengan berita kita.

Menulis Hasil Investigasi
Setelah semuanya lengkap, barulah melangkah pada tahapan berikutnya: menulis hasil liputan.
Agar tulisan terarah dan mendetil, semua anggota tim kembali bertemu. Materi pembicaraan dipusatkan pada pembagian tulisan, sistematika, angle tulisan, dan deskripsi.
Masalah utama kasus ditempatkan sebagai tulisan utama. Bagian ini menggambarkan suasana makro dari kasus yang kita investigasi. Publik akan tahu secara global masalah yang kita sajikan: apa terjadi, siapa pelakunya, kapan dan di mana, bagaimana kejadiannya dan mengapa sampai hal itu berlangsung.
Hal-hal yang lebih mikro, yang menjelaskan secara lebih mendetil mengenai suatu kasus, dituangkan dalam tulisan lainnya. Bila dipandang perlu, saksi kunci yang jadi pelaku utama dari masalah yang disorot ditampilkan. Kecuali memberikan hak jawab padanya, ini penting publik untuk mengetahui apa yang melatari si dia berpikir dan bertindak.
Dokumen penting, baik memo atau kuitansi, juga data lainnya, perlu dituangkan – sebagai bukti otentik suatu kejadian.
Saat menulis kita kembali membolak-balik hasil riset dan checking semua fakta, sebagai langkah kehati-hatian dan kesempurnaan dari hasil penelisikan kita.

Memikirkan Dampak Lingkungan
Berdasarkan hasil riset dan temuan di lapangan, kita sesungguhnya sudah mengetahui apa sesungguhnya yang jadi benang merah tulisan, misi dan sasarannya. Juga, yang terpenting: dampak dari tulisan itu.
Sudah seharusnya kita memprediksikan seberapa jauh dampak tulisan tersebut. Utamanya, sejauh mana kemungkinan akan digugat pihak yang dirugikan atas laporan selidikan itu.

Libel Check
Sebelum tulisan diterbitkan, tidak ada salahnya kita kembali melihat-lihat data dan fakta yang sudah diperoleh. Termasuk, kembali membaca tulisan yang sudah dibuat. Inilah yang disebut sebagai libel check atau sebagai upaya menghindari berita-berita fitnah.

Bila menemukan data yang salah dalam tulisan, jangan segan-segan mengubahnya. Akan lebih bijaksana terlambat terbit, ketimbangan menuangkan kesalahan pada media kita. Karena bukan hanya publik yang merasa dibohongi tulisan kita, tetapi juga sejumlah pihak yang disebut-sebut dalam tulisan itu.

Kemapuan Utama Investigator
·    Kemampuan wawancara yang baik
·    Mengenal Karakter Sumber
·    Jadilah Orang yang Dipercaya
·    Menjadi Orang Bodoh
·    Guankan Indera Keenam.
·    Jangan Mudah Percaya
·    Bawalah Buku Catatan dan Alat Bantu
·    Ingatlah Sikap Dasar:
·    Tenacious (ngotot atau bertahan)
·    Determined (tekun dan ulet)
·    Patient
·    Zelaous (bersemangat)
·    Fair
Mengapa Menyamar?
Reportase Investigasi membutuhkan banyak tehnik dan metode di antaranya adalah teknik penyamaran mengingat urgensinya dalam memaksimalkan hasil investigasi.
Penyamaran bertujuan untuk memperoleh data faktual secara jujur dan akurat. Tehnik dilakukan manakala data dan fakta yang dibutuhkan untuk mengungkap sebuah kasus amat sulit dilakukan dengan cara yang umum.

Dengan teknik ini, reporter investigasi dapat dengan leluasa memasuki sebuah komunitas tertentu yang berperilaku menyimpang. Misalnya, komunitas penjudi, mafia penyelundupan dan dunia hitam lainnya.

Mengapa menyamar?
·    Kita tidak mungkin memperoleh informasi bila langsung membuka identitas sebagai wartawan.
·    Institusi, individu, atau komunitas yang kita selidiki memang sengaja menutupi masalah yang melilitnya karena yang bersangkutan mungkin akan kehilangan pamor, harta dan lainnya. Dengan menutupi kasusnya, sedikitnya ia terhindar dari kejaran pihak berwajib.
·    Banyak sumber yang tahu suatu ketidakberesan, namun takut membukanya ke pers. Ia takut, ‘orang kuat’ di balik sebuah kasus bakal apa saja bagi mereka yang merugikannya.
·    Orang yang mengetahui banyak hal super sensitif, umumnya punya hubungan dekat dengan “orang kuat” tersebut jadi enggan memberikan informasi secara terbuka.
·    Dengan teknik penyamaran, kita bisa memperoleh data dan fakta tanpa didramatisir. Sebab, kita melihat, mendengar, dan bahkan menikmati objek yang tengah diselidiki secara langsung.

Be Cool Please!

Salah satu kunci sukses penyamaran adalah selalu berpenampilan rileks dan tenang. Dalam berbagai situasi. Termasuk saat kita terancam. Dadi menyebutnya dengan jurus Tai Chi.

Jurus itu menyerang dengan menggunakn kekuatan lawan. Sifatnya bertahan untuk menyerang. Filosofi dan kekuatan jurus Tai Chi, terletak pada konsentrasi serta ketenangan lahir dan batin. Kuncinya terletak pada ketenangan lahir dan batin. Ketenangan di sini bukan dalam pengertian pasif, tapi dinamis.

Ketenangan itu sangat dibutuhkan pada saat kita diundang oleh salah satu ”orang kuat” yang erat kaitannya dengan objek berita kita. Karena undangan olehnya sering diterima dengan tidak terduga.

Membuka Tabir Diri
Ada saatnya juga kita harus bisa memilih antara membuka jati diri kita atau tetap menyamar. Karena sebuah keputusan itu dapat sangat berpengaruh terhadap sebuah hasil investigasi. Keputusan yang tepat adalah sebuah bagian dari manuver dan adaptasi yang dilakukan berdasarkan mobilitas di lapangan.

Teknik Kamikaze
Ada juga teknik penyamaran yang nekad. Teknik ini dilakukan pada situasi tertentu, dengan penuh rencana dan perhitungan yang matang. Namun, harus dilakoni dengan ekstra dingin.

Teknik ini adalah tehnik yang sedemikian nekad, atau biasa disebut sebagai tehnik bunuh diri. Kenapa? Karena teknik dilakukan secara frontal. Bila sang investigator ingin mengabadikan sebuah pertemuan penting maka harus dilakukan penyamaran.

Cara pertama adalah dengan menampilkan diri serapi mungkin. Pakian harus formal. Usahakan datang tepat waktu. Karena saat orang penting datang, si investigator itu harus bergegas memasuki ruangan dan bergegas mengambil foto. Selepas mengambil foto, segera dengan tenang undur diri.

Teknik Serangan Fajar
Teknik ini bisa diterapkan ketika kita akan mencuri sebuah dokumen di ruangan seorang sumber penting. seperti teknik kamikaze, kita pun harus berpenampilan meyakinkan.

Kembangkan Jaringan
Sungguh banyak masalah yang bisa menjadi bahan investigasi. Baik yang terjadi di lingkungan pemerintahan, legislatif dan yudikatif. Begitu pula di lingkungan swasta, organisasi massa, lembaga swadaya masyarakat, dunia hiburan dan lain-lain.
Namun tidak jarang wartawan kekosongan bahan. Jurnalis menyebutnya, ‘mati angin’. Ada satu kiat untuk menghindari penyakit ‘mati angin’ ini. Yaitu, membangun jaringan atau networking ke semua penjuru.

Bersahabat dengan Angka
Jika kita mau melihat data-data dan angka-angka statistik yang dingin dan beku, kita dapat menemukan kisah tragis yang melilit seorang, sekelompok atau sebagian masyarakat. Sering terjadi fenomena dan gejala menyimpang yang ditemukan dari data dan angka tersebut. Misalnya, kita dapat mencari data statistik tentang tingkat kemiskinan, kesehatan, pendidikan sam pai kematian di lembaga-lembaga terkait.

Orang Kecil, Berita Besar
Jangan pernah meremehkan seorang narasumber berita, sekalipun secara status sosiologis ia berasal dari kalangan bawah atau seorang dengan profesi tidak terpandang. Karena, informasi bisa datang dari mana saja, kapan saja dan di mana saja. Bahkan sesungguhnya lazimnya wartawan investigasi mendapat informasi detil dari seorang office boy, asisten rumah tangga, supir, pelayan restoan, dan sebagainya.

Yin dan Yang
Tak ada satu pun yang bersifat mutlak di dunia ini. Semua mempunyai dikotomi masing-masing. Ada orang baik, ada pula orang jahat. Situasi itu juga berlaku dalam memandang sebuah berita berikut narasumbernya. Wartawan investigasi memang tidak mudah untuk mendapatkan informasi. Mereka sering kali mengorbankan waktu, tenaga, pikiran dan materi hanya sekedar untuk menunggu narsumbernya datang dan me-lobby agar ia mau buka mulut.

Mencari Musuh dalam Selimut
Istilah mencari musuh dalam selimut di sini bukan melulu diartikan secara harfiah. Dalam banyak hal, sering kali berita besar diperoleh dari orang-orang yang dikenal sebagai musuh orang yang menjadi target kita. Maksudnya, target/sasaran kita pasti mempunyai pihak oposisi, maka itu kita juga harus meminta keterangan yang mendalam dari orang tersebut. Ini sebagai bentuk cover both side, cek dan ricek atau devil advocate seorang wartawan.

Orang Kedua atau Ketiga
Sumber informasi penting juga bisa didapat dati orang kepercayaan target atau sasaran kita. Biasanya informasi dari mulut mereka masuk kategori A1 alias sangat akurat.

Lalu Lintas Informasi
Terkadang sebuah informasi yang kita peroleh dari seseorang tidak jarang berujung pada transaksi materi/ uang. Maksudnya adalah, ada sebagian orang-orang yang memang bersedia membuka mulut untuk menjual informasinya. Bahkan orang-orang seperti demikian sudah mempunyai rencana, settingan dan scenario tersendiri untuk mencapai tujuannya ataupu. Memanfaatkan wartawan untuk menyisipkan pesan pribadinya dalam informasi itu. Dalam hal ini, wartawan investigasi harus sangat hati-hati menyaring informasi yang masuk.

Berkawan dengan Bandit
Dalam reportase investigasi, penunggangan kepentingan mejadi hal yang lumrah. Banyak narasumber yang ingin memasukkan pesan untuk kepentingan prbadi atau golongannya. Tinggal bagaimana wartawan/reporter dapat mengendalikannya. Pada saat-saat itulah nilai-nilai kejurnalistikan seorang wartawan/reporter investigasi sedang diuji. Karena dalam mengungkap kebenaran, seorang reporter akan kewalahan untuk membatasi diri untuk menerima informasi. Informasi dari seorang bandit/penjahatpu dapat dijadikan bahan, selama kita yakin bahwa itu akurat.

Informasi A-1
Informasi A-1 adalah istilah bagi informasi yang sangat layak dipercaya. Informasi A-1 setidaknya harus memenuhi dua syarat, yang pertama: sumber informasi itu harus dapat dipercaya. Artinya sang narasumber harus jelas identitasnya, profesia dan latar belakangnya, serta hubungannya dengan target/sasaran berita. Kedua: informasi dari tersebut memang faktual. Kita dapat menguji fakta tadi dengan melakukan cek silang terhadap beberapa pihak terkait dengan masalah yang kita garap.

Jaring Laba-laba
Semua sumber sesungguhnya bisa menjadi bagian dari jaringan informasi. Jaringan itu amat penting bagi wartawan investigasi. Jaringan informasi (networking/ link) tersebut bagaikan tombol-tombol yang dapat segera diakses manakala terjadi peristiwa besar. Sebaiknya, wartawan/reporter invetigasi tidak hanya berhubungan baik pada saat ada butuhnya kepada narasumber tersebut, tapi juga memelihara hubungan baik pada waktu-waktu biasa, agar narasumber itu tetap bersedia membantu kita memberikan informasi yang berharga.

Taatilah Nilai dan Norma
Pelaporan investigasi memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang harus dipatuhi. Secara garis besar, inilah nilai dan norma yang patut dipegang oleh setiap orang yang berniat terjun ke dunia ini.

Mencari Binatang Melata
Maksud dari binatang melata adalah narasumber. ‘binatang melata’ tidak perlu diburu dengan semangat penuh kebencian dan dirasuki dendam kesumat. Di mata reporter investigasi, suatu kejahatan tidak perlu dibasuh kebencian. Pers ditujukan untuk menyiarkan atau menularkan nilai-nilai luhur manusia.

Meninju tanpa Meng-KO
Laporan investigasi mesti ditulis dengan cara yang ‘dingin’, tanpa emosi untuk mengumbar kebencian. Tidak perlu menggunakan kata-kata sarkas. Biasakan diri kita bersikap objektif dan membuang jauh-jauh cara pandang subjektif. Dengan demikian, hati nurani terpelihara untuk semata menjungjug tinggi kepentingan publik.

Menggonggong Demi Ketentraman
Reportase investigasi seperti seekor anjing penjaga yang siap menyalak begitu nalurinya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres di sekitarnya. Ia menjadi alat sosial kontrol yang sehat dan konstruktif bagi semua kalangan.

Profesional dan Independen
Para investigator haruslah menjadi orang yang independen. Dia terlepas dari berbagai kepentingan apapun, agar tetap bisa terus mengasah hatinya. Menempatkan dirinya sebagai milik masyarakat. Kebenaran menurutnya adalah kebenaran yang berlaku secara universal.

Siapa Bertanggungjawab?
Setiap mengangkat kasus dalam reportase investigasi, kita sebaiknya memfokuskan diri kepada pertanggungjawaban lembaga atau individu yang merugikan khalayak luas. Nilai-nilai seperti itu penting dicermati, karena terget dari pelaporan investigasi adalah terjadinya perubahan.

Menuju Kepada Perubahan
Keyakinan akan kekuatan media sebagai katalisator perubahan, pataut ditanamkan pada diri wartawan. Dengan sepengetahuan kita, ataupun tidak sama sekali, laporan selidikan akan senantiasa menimbulkan efek perubahan.

Jalan Menuju Kebenaran
Dalam hal ini, kita harus sejujurnya membeberkan hasil investigasi ulang tersebut. Kalau memang hasil re-investigasi menunjukkan berita yang sudah dilansir itu sesuai dengan kenyataan, maka tidak ada jalan lain: kita mempertanggungjawabkan laporan itu. Di depan pengadilan sekalipun.

Rangkuman Buku "Berani Menulis Artikel, Babak Baru Kiat Menulis Artikel untuk Media Massa Cetak", Oleh Wahyu Wibowo

Rangkuman

Berani Menulis Artikel

Esai, Features, dan Artikel Jurnalistik
Tulisan atas nama pribadi, yang ciri khasnya memang mencantumkan nama pribadi penulisnya, di dalam media massa cetak biasanya disebut artikel. Namun, selain artikel, ada dua jenis tulisan lainnya yang acap kali juga atas nama pribadi, yang dikenal sebagai esai dan features. Esai adalah jenis tulisan berbentuk prosa yang mempersoalkan sesuatu hal sejauh hal itu menarik minat penulisnya. Features didefinisikan sebagai karangan prosa berbentuk ringkas-padat yang disajikan secara naratif dan sarat mengandung unsur human interest (makna kemanusiaan). Features sulit dibedakan dari esai, karena esai juga dapat berbentuk karangan prosa ringkas-padat yang disajikan secara naratif. Namun, penulis cenderung menggarisbawahi bahwa esai sama dengan features.

Perbedaan/Persamaan Artikel dengan Esai/Features
Artikel:
·    Ekspositoris-argumentatif;
·    Berpeluang mendatangkan pencerahan;
·    Topiknya dipicu dari hal yang aktual;
·    Pantulan pribadi penulisnya;
·    Memecahkan persoalan;
·    Bentuk ringkas-padat;
·    Gaya dan nada penulisannya kebanyakan tegas, lugas, dan serius.

Esai/Features:
·    Ekspositoris-persuasif;
·    Berpeluang mendatangkan pencerahan;
·    Topiknya dipicu dari hal yang fragmentaris;
·    Pantulan pribadi penulisnya;
·    Menyajikan persoalan;
·    Bentuk bisa ringkas-padat;
·    Gaya dan penulisannya biasanya ringan, segar, bebas, akrab, dan longgar.


Jurnalistik, Publisistik, dan Pers
Istilah jurnalisik ternyata bukan berasal langsung dari bahasa Latin diurnal, melainkan tumbuh dari bahasa Inggris journal atau Prancis du jour, yang bermakna “catatan tertulis seseorang mengenai kegiatan sehari-harinya”. Dalam perkembangannya, muncul istilah journalistic (jurnalistik) yang merujuk pada segala aktivitas yang berkaitan dengan tulis-menulis untuk diumumkan.
Di Indonesia, istilah “jurnalistik”, “publisistik”, dan “pers” agaknya digunakan dalam pemahaman yang menurut penulis, terkadang cukup membingungkan. Istilah jurnalistik, umpamanya, merujuk pada aktivitas yang menyangkut kewartawanan, sedangkan istilah publisistik bertalian dengn ilmu jurnalistik sebagaimana diajarkan di kampus-kampus. Sementara, istilah pers, selain (a) orang atau sekelompok orang yang menyampaikan perluasan berita; (b) penyebarluasan berita baik melalui media massa cetak maupun elektronik; juga (c) bentuk usaha yang bergerak di bidang percetakan dan penerbitan.
Kelahiran pers Indonesia memang tak lepas dari semangat jurnalisme kapitalisme Eropa zaman kolonial. Dalam hubungan dengan sejarah bahasa dan pers nasional, yang patut dicatat adalah kiprah R.M. Tirtoadisoerjo, seorang pengusaha asli pribumi yang menerbitkan Medan Prijaji (1907) di Bandung. Tak heran di kemudian hari R.M. Tirtoadisoerjo disebut sebagai Bapak Wartawan Indonesia. Pers Indonesia dewasa ini lebih berupaya menampilkan diri sebagai profesional yang berwawasan mondial sekalipun mondialisme yang diusungnya itu terkadang berkesan hanya dimaknai sebagai kebebasan dalam mengungkapkan hal-hal yang seronok, sensual, dan porno.

Ciri-ciri Komunikasi Massa:
·    Bersifat searah.
·    Menunya beraneka-ragam.
·    Sebarannya tak terbatas.
·    Segmentasinya tertentu.
·    Terlembaga secara profesional.

Bentuk-bentuk Media Massa Cetak
·    Majalah (magazine): terbitan berkala yang memuat berbagai artikel, berita olahan (depth reporting), berita investigatif, cerita, dongeng, mitos, dan legenda.
·    Jurnal (journal): catatan harian atau buku harian. Jurnal memuat kisah, pengalaman, pikiran, atau peristiwa yang secara runtut menimpa penulisnya.
·    Koran (newspaper) adalah terbitan berkala yang berisi artikel, berita langsung, dan iklan. Koran biasanya dicetak pada kertas berukuran plano.
·    Tabloid adalah kumpulan berita olahan atau berita investigatif, artikel, cerita, atau iklan yang terbit berkala dan berukuran lebih kecil dari koran.
·    Buletin adalah kumpulan berita, artikel, cerita, atau iklan yang terbit berkala dan dicetak pada kertas berukuran broadsheet. Wujudnya lebih sederhana dari majalah. Buletin biasanya terbit dikalangan kelompok saja.

Pembentukan Opini Publik
Menurut hipotesis Elihu Katz, sebagaimana dikutip Djafar (1991), pengaruh media massa terhadap masyarakat muncul secara bertingkat. Mula – mula, ia “menyerang” mereka yang terkategori pemimpin opini (opinion leader), setelah itu barulah media massa memengaruhi masyarakat secara luas.
Berikut pembagian halaman opini :
·    Tajuk rencana; disebut sebagai “induk karangan” pada majalah karena disitulah cerminan sikap, pandangan, atau opini pihak penerbit. Fungsi tajuk rencana; ramalan (forecasting), tafsiran (interpretating), galian (explorating).
·    Pojok; bertujuan untuk mengkritisi suatu peristiwa yang diberitakan saat tersebut. Pojok ditulis secara singkat, lugas, dan jenaka.
·    Karikatur; bertujuan untuk mengkritik melalui media lukis sesuai pemberitaan koran tersebut.
·    Kolom; bagian yang disediakan khusus untuk kolumnis (penulis tetap). Isinya berupa komentar atau tanggapan pribadi terhadap suatu peristiwa yang aktual.
·    Artikel; adalah tulisan lepas mengenai berbagai hal aktual yang bertsifat opini pribadi penulisnya. Meskipun bersifat opini, penulis artikel berangkat dari sejumlah referensi. Tulisan opini yang tidak menggunakan referensi biasanya disebut esai.
·    Surat pembaca; salah satu jenis opini publik yang dianggap paling ampuh sebagai sarana berkomunikasi langsung antar warga masyarakat.
Faktor-faktor pemicu opini publik yang perlu diperhatikan dalam penulisan artikel:
·    Adanya isu, yang membangun sikap kolektif, sehingga muncul pro-kontra, sampai terjadinya konsensus.
·    Adanya publik, yakni kelompok yang tertarik akan isu tersebut.
·    Adanya pilihan – pilihan kompleks yang dilakukan publik.
·    Adanya alat penyampai opini.
·    Adanya keterlibatan banyak individu.

Manusia, Bahasa Biasa dan Postmodernisme
Dari sudut wacana komunikasi, terbukti bahwa pesan yang dipublikasikan seseorang melalui karya tulisnya bisa memenuhi kebutuhan informasi sekelompok orang.
Sebagaimana dibuktikan sejarah, pemikiran akan terus hidup meskipun orangnya sudah tidak ada. Hal ini adalah implikasi pada kepiawaian seseorang dalam menulis atau berbahasa.
Tanpa bahasa manusia tidak mungkin mengomunikasikan pikirannya kepada orang lain. Sebagai produk bahasa, bahasa merupakan pengembang kebudayaan itu sendiri.

Pesan dan Kebutuhan Informasi
Pesan disiarkan seseorang melalui karya tulisnya bisa memenuhi kebutuhan inggrmasi sekelompok orang. Implikasinya terbukti pula bahwa sebuah karya tulis ternyata mampu membuat penguasa kalang kabut. 

Manusia: Bebahasa ataukah Berpikir?
Sebagaimana dibuktikan sejarah, pemikiran akan terus hidup sekalipun orangnya telah dilenyapkan. Hal ini bila dipertalikan dengan topik pembicaraan ini, berimplikasi pada kepiawaian seseorang dalam tulis-menulis atau dalam berbahasa. Intinya, andai memang kita memiliki pemikiran yang logis, bernafas, cerdas, jangan ragu-ragu untuk melahirkannya melalui artikel jurnalistik.

Dari Analisis Bahasa ke Sruktruralisme
Wahyu Wibowo mengutip Ernst Cassirer (1874-1945), filsuf Jerman yang beraliran neo-Kantianisme. Manusia memiliki dapat berpikir baik, teratur, logis, dan sistematis karena ia memiliki bahasa. Oleh karena itu dalam wacana linguistik bahasa didefinisikan sebagai sistem simbol bunyi bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap), yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang digunaan sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia dalam melahirkan perasaan dan pikirannya.

Abad ke-20 adalah Abad Bahasa
Strukturalisme menekankan bahwa bahasa memiliki unsur yang saling berhubungan atau satu-satunya objek linguistik yang sahih adalah sistem bahasa, memang berkembang pesat pada awal abad ke-20 ke seluruh dunia dan menghilhami para akademisi dalam berbagai bidang ilmu. 

Sebagai salah satu mazhab dalam Filsafat Kontemporer (filsafat abad ke 20), Filsafat Analitik muncul sebagai reaksi keras terhadap idealisme khususnya Neo-Hegelianisme di Inggris yang cenderung mengarah pada hal-hal empirik seraya menghindari hal-hal metafisis. Pertentangan antara kedua filsafat itu diuraikan dalam paradigma antara John Locke (empirik) dan Hegel (dialektika); jika empirisme Loke menegaskan bahwa semua harus dapat dilihat dan dibuktikan secara metematis melalui metode induksi, idealisme Hegel justru menekankan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam kebergantungan pada jiwa melalui metode dialektika.

Mahzab baru ini dikenal dengan nama Mazhab Analitik Bahasa, yang juga disebut Filsafat Analitik, Filsafat Bahasa, atau Analisa Logika. Keempat istilah tersebut mengandung pengertian yang sama yaitu suatu pandangan yang berupaya menjelaskan penggunaan bahasa dalam penggunaan sehari-hari.
Austin dan Filsafat Bahasa Biasa

Menurut John Langshaw Austin (1911-1960), penggunaan bahasa tidak boleh dilepaskan dari situasi konkret yakni pada saat ucapan-ucapan dikemukakan dan dari fenomena-fenomena yang dimaksudkan oleh ucapan-ucapan tersebut.

Postmodernisme di dalam Abad Bahasa
Postmodernisme muncul di Amerika Utara 1979 ketika Universitas Quebec menyelenggarakan diskusi mengenai problem sosiologis masyarakat postindustri, khususnya pengaruh perkembangan teknologi terhadap masyarakat masa depan.

Jean Francois Lyotard menyampaikan laporan penelitiannya tentang berbagai perubahan di bidang pengetahuan dalam masyarakat-masyarakat industri maju akibat pengaruh teknologi informasi baru. 

Postmodernisme menolah segala bentuk narasi besar. Tidak ada kebenaran tunggal yang universal. Yang ada adalah kebenaran-kebenaran. Yang ada hanyalah narasi-narasi kecil yang melegitimasikan berbagai macam praktik pengetahuan di dalam postmodernisme tidak lagi dilegitimasikan pada kesatuan (homology), tetapi pada pluralitas (paralogy). Untuk itu bahasa menjadi perantara mutlak bagi setiap pengetahunan.

Untuk mendeskripsikan fenomena pengetahuan kontemporer, maka dipakailah  metode Wittgenstein mengenai tata permainan bahasa. Kekhasan analisis dari metode ini adalah membuka prespektif kesadaran dan menerima realitas plural. Setiap pengetahuan bergerak dalam permainan bahasanya masing-masing. Implikasinya tiap-tiap bahasa memiliki peraturannya sendiri.

Media Massa dan Kesadaran Kritis Berbahasa
Bertalian dengan iliustrasi penerbitan pers bawah tanah, agaknya kita patut bersyukur bahwa pada saat itu, masyarakat mendapat bacaan alternatif yang berada di luar pakem Orde Baru. Bahkan, boleh digaris bawahi, kemunculan penerbitan pers bawah tanah kemudian turut menyemangati iklim kebebasan dan kemandirian pers nasional di sepanjang era reformasi. 

Pemahaman tersebut patutlah digaris bawahi. Sebab, sebagai pilar negara keempat, pers sering kali dianggap sebagai panutan dan teladan dalam berbahasa. Artinya, apapun yang disodorkan media massa, itulah yang dianggap benar oleh masyarakat. Sebagai contoh, ingatlah pada sejumlah kesalahkaprahan yang dilakukan media massa, yang oleh masyarakat kemudian dianggap benar, seperti pemakaian kata mengkritisi (seharusnya, mengkritik). Beranalogi dengan hal diatas, bahasa Indonesia adalah juga alat komunikasi terpenting jurnalis Indonesia dalam menyampaikan pesan, ungkapan perasaan, atau emosi kepada masyarakat pembacanya. Bayangkan, masih di tengah = tengah iklim penjajahan Belanda, mereka sudah menyiapkan bahasa ndonesia sebagai bahasa persatuan, yang lantas dituangkan ke dalam ikrar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Berpijak dari kenyataan di atas ini, selaras dengan ucapan Bung Karno mengenai “jasmerah”, tidak ada salahnya jika kita menghargai eksistensi bahasa Indonesia dengan cara menyelami sejarah panjangnya. Artinya, ketika dewasa ini kita masih kebingungan terhadap format dan makna reformasi, demokrasi, dan keadilan, bahasa Indonesia justru sudah melakukannya secara konstruktif.

Namun, lepas dari stukturnya yang sederhana dan bunyinya yang sedap, yang jelas dewasa ini bahasa Indonesia bukanlah bahasa melayu yang kita kenal. Bahasa Indonesia telah mengalami perubahan, baik akibat pengaruh internal maupun eksternal. 

Dalam konteks inilah, generasi muda dituntut berperan aktif dalam proses pengembangan bahasa Indonesia. Peran ini, pertama, adalah peran sebagai subjek, karena diri mereka sendirilah yang bertindak sebagai Pembina bahasa Indonesia. Sedangkan, kedua, peran sebagai objek, yakni generasi muda itu sendiri yang menjadi sasaran pengembangan bahasa Indonesia.

Artinya, generasi muda kita sebenarnya amat tergantung generasi selingkungnya. Implikasinya, jika kita pandang dari sudut determinisme, sudahkah kita memiliki sistem manajemen sumber daya manusia yang baik dan benar dalam hal kepedulian terhadap bahasa Indonesia. 

Kendati begitu, ironisnya, mengapa hingga kini eksistensi bahasa Indonesia masih disepelekan dan bahkan merupakan momok bagi sebagian besar rakyat Indonesia terpelajar? Atau, jika hendak diungkapkan dalam nada lain, mengapa bahasa Indonesia belum juga menjadi tuan dirumahnya sendiri? Fakta membuktikan, tidak sedikit karya tulis mahasiswa kita yang lemah dalam hal penalaran, kacau dalam penggunaan ejaan, dan mubazir dalam pilihan kata.

Bentuk – bentuk Wacana
Interferensi yang terjadi antara ragam bahasa Indonesia lisan dan tulis, secara filosofis membuktikan bahwa bahasa Indonesia masih kurang dipedulikan dan hal ini mengimbas pada budaya menulis artikel jurnalistik. 

Untuk menghindari komentar kurang sedap terhadap artikel yang kita kirimkan, ada baiknya kita melakukan perubahan drastis terhadap artikel yang kabar pemuatannya tidak jelas. Dengan cara mengubah judul, mengubah lead, mengubah data dan juga sudut pandang kita.

Menurut Bakker (1990), pengetahuan manusia dalam tataran subjek pada umumnya terjadi karena adanya komunikasi dengan kenyataan, idea tau kesadaran. Pasalnya manusia menerima pengaruh dari lingkungannya. Ia memahaminya, mangungkapkannya juga sebaliknya memberi makna.

Dalam diri manusia setidaknya dibedakan menjadi tiga rangkap pengetahuan yang tingkat, kualitas dan kemampuannya berbeda-beda. Pengetahuan itu adalah pengetahuan inderawi, pengetahuan naluri dan pengetahuan rasional.

Topik atau pokok masalah adalah pokok pembicaraan. Topik dapat meliputi persoalan budaya, sosial, teknik, keuangan dan seterusnya. Dalam memilih topik, harus dipertimbangkan beberapa hal hal yang menguntungkan dari sudut penulis :
·    Topik tersebut bermanfaat dan layak dibahas
·    Topik tersebut harus topik yang menarik menurut kita.
·    Topik tersebut cukup kita kenal baik (berada disekitar kita.
·    Topik jangan terlali baru.

Setelah menentukan topik, penulis wajib mengetahui tentang tema. Pengertian tema dapat diurai sebagai berikut, pertama dari sudut praktis, tema bermakna dasar cerita (sama dengan topik yaitu bahan pembicaraan). Kedua, dari sudut reseptif berarti amanat utama yang diterima pembaca.

Prinsip penulisan artikel jurnalistik:
·    Singkat, padat, kreatif dan berkonotasi positif.
·    Mencerminkan tulisan dan mudah diingat
·    Mudah dibaca dan diungkapkan
·    Tidak kemaruk dalam penggunaan bahasa asing
·    Dapat diterima secara umum.
·    Harus berbentuk frase, bukan kalimat.

Bentuk-bentuk wacana dapat dilihat sebagai berikut :
·    Argumentasi
·    Deskripsi
·    Eksposisi
·    Persuasi
·    Narasi

Unsur pertautan:
Metonimi, mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain yang pertaliannya sangat dekat. "Saya kurang suka mendengarkan Dewa."
Sinekdoke, menyebut sebagian dari sesuatu hal yang menyatakan keseluruhannya. "Pertandingan basket akan digelar antara Cina melawan Indonesia."
Alusi, menunjuk secara tidak langsung ke suatu peristiwa atau tokoh dengan anggapan pembaca juga mengetahui peristiwa atau tokoh itu. "Akankah Tragedi Trisakti terulang kembali?"
Eufemisme, mempergunakan kata-kata dengan arti yang baik dan dengan tujuan yang juga baik, untuk menghindari ketersinggungan orang lain. "Si Candra tidak terlalu cerdas, tapi mengapa ...."
Eponim, mempergunakan nama seorang tokoh yang amat terkenal karena sifat-sifat tertentunya. "Tahun ini Dewi Sri datang ke desa kita, buktinya panen kita tidak gagal."
Epitet, mempergunakan kata-kata dalam bentuk frase deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama seseorang atau sesuatu. "Sejak dibersihkan Trantib, tidak tampak lagi kupu-kupu malam berseliweran di situ."
Antonomasia, penggunaan gelar resmi atau jabatan sebagai pengganti nama diri. "Penduduk kampung itu berharap agar Gubernur dapat menghadiri upacara itu."
Erotesis atau pertanyaan retoris, pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban, sekedar ingin menimbulkan efek tertentu. "Benarkah kita memerlukan gerakan kencangkan ikat pinggang, jika melihat ulah wakil rakyat ...?"
Pararelisme atau kesejajaran, pemakaian kata-kata yang menduduki fungsi yang sama dalam susuna gramatikal yang juga sama. "Korupsi tidak saja harus dikutuk, tapi juga harus diberantas sampai ke akar-akarnya."

Unsur perulangan atau repetisi:
Aliterasi, pemanfaatan bunyi konsonan yang sama pada awal kata. "Pejabat kita kini kadang keterlaluan dalam menyikapi para pedagang kaki lima."
Asonansi, pemanfaatan bunyi vokal yang sama pada susunan kata. "Pejabat kita di Jakarta hendaknya seia-sekata bersatu dalam menganggulangi nasib rakyat yang menderita."
Antanaklasis, mengulang kata-kata yang sama. "Berkat buah penanya yang tajam, Mas Antasena menjadi buah bibir di kantornya."
Kiasmus, perulangan kata-kata yang sekaligus mencerminkan inversi. "Manusia itu terkadang aneh, yang miskin seringkali merasa kaya, sedangkan yang kaya justru kerap merasa miskin."
Epizeukis, perulangan kata-kata yang bersifat langsung. "Hidup di Jakarta, ingatlah, kamu harus berhemat, berhemat, dan berhemat."
Anafora, perulangan kata pada awal kalimat. "Di Jakarta kamu harus berhemat. Di Jakarta kamu harus tahu diri. Di Jakarta kamu harus banyak teman.

Struktur artikel jurnalistik
Secara teoritis: teras (lead), tubuh (body), dan penutup (ending).
Macam-macam teras:
Model 5W 1H.
Model kisahan. "Pagi itu, di tepi jalan depan sebuah hetel di Jalan Sawo Manila, Pasar Minggu, Jak-Sel, sesosok mayat gadis muda tampak terbujur. Bajunya terkoyak ...."
Model pertanyaan.
Model kutipan langsung.
Model deskriptif. "Dari luar, gedung Kampus Unas tak mengesankan sebuah kampus yang selama ini telah menghasilkan ribuan sarjana. Pasalnya, sosok gedung ini lebih mirip rumah tua peninggalan Belanda dengan halaman luas yang asri. Apalagi, warna dindingnya ...."
Model ucapan kondang. "Jangan sekali-kalimelupakan sejarah. Ungkapan Bung Karno ini, agaknya, masih pas ...."
Model menuding. "Anda tentu masih ingat Ali Sadikin? Itu, lho, satu-satunya gubernur DKI Jakarta yang paling peduli terhadap Ibu Kota. Terbukti, pada musibah ...."
Model sapaan, menyajikan pokok pikiran dalam bentuk surat. "Kawanku, pengelolaan Jakarta sebagai ibu kota negara, belakangan ini, makin tak ...."
Model parodi, mengutip motto yang kondang, dengan tujuan mencuatkan kejenakaan. "Begitu saja, kok, repot. Mungkin, begitulah yang ada dalam pikiran Mas Hendra Sukarno ketika harus memilih menerima ...."
Model figuratif, menggunakan bentuk kiasan atau majas. "Bagai panas setahun dihapus hujan sehari, begitulah kesan masyarakat terhadap Komisi Pemilihan Umum yang ...."
Model literer, mengutip karya sastra yang sudah dikenal luas. "Kisah Si Malin Kundang terjadi lagi di Bekasi, ketika Mustafa (18) kepergok tengah memukuli ibu kandungnya, Nyi Desi (41). Warga yang marah ...."
Model penggoda, mengajak pembaca bergurau. "Pengumuman yang kita nanti-nantikan akhirnya muncul; ya, sekitar awal September 2005, kita bisa mendengar pengumuman Pemerintah tentang kenaikan harga BBM dan barangkali juga tarif listrik ...."
Model ringkasan, memuat inti cerita.
Model stakato, disebut juga teras unik dan ditampilkan secara informatif dan imajinatif. "Jelegur! Tret-tet-tet-tet! Jelegur! Tret-tet-tet-tet, petasan terus berbunyi mengiringi langkah sepasang pengantin Betawi, yakni Bang Lilik dan ...."
Model dialog. "Masuklah! Anda siapa?" ujar pemilik rumah itu, seorang wanita setengah baya yang masih menyisakan kecantikannya, dengan ramah ...."
Model kumulatif, menyajikan peristiwa secara berurutan, sehingga membawa pembaca ke antiklimaks peristiwa. "Masa kecilnya sudah mencuri mangga tetangga. Masa remajanya ia sudah berurusan dengan polisi gara-gara mencopet. Masa mudanya ia sudah merasakan dinginnya sel penjara karena memerkosa pembantu rumah tangganya. Kini, ia, Tuan Candra, adalah direktur akademi akuntansi yang sukses."
Model kontras. "Bibir Monang yang tebal tak bisa menyembunyikan sinar kecewa dari matanya, ketika mendengar Rohani, gadis yang selama ini diincarnya, akan melangsungkan pernikahan. Tubuh Monang yang tinggi besar itu pun ambruk, tak kuat menahan kecewa."
Model epigram, menggunakan ungkapan yang sudah dikenal luas. "Ada ubi ada talas, ada budi ada balas, kiranya tepat untuk melukiskan hubungan antara AS dan Indonesia."
Macam macam tubuh:
Model spiral, merinci pokok persoalan ke dalam alinea dan kemudian lebih merincinya ke dalam alinea-alinea berikutnya. Begitu seterusnya, hingga mencapai suatu gambaran persoalan yang kembali ke teras, sehingga tulisan menjadi bulat, padu, dan komprehensif.
Model rekatan, menghubungkan alinea satu dan lainnya dengan partikel penghubung atau penegas.
Model blok, menyebarkan atau membagi-bagi pokok pikiran atau bahan cerita ke dalam alinea terpisah-pisah. Hal ini seolah-olah, membuat arah tulisan tak runtut atau kisahnya terkesan melompat-lompat.
Model tematik, pokok pikiran yang terdapat dalam tiap-tiap alinea menegaskan teras.
Model kronologis, merinci dan mengembangkan alinea berdasarkan hukum sebab-akibat atau peristiwa demi peristiwa.

Macam-macam penutup:
Model simpulan, merumuskan antiklimaks dari keseluruhan persoalan yang telah diuraikan dalam tubuh.
Model menggantung, sengaja membuat pertanyaan atau pernyataan yang tidak selesai.
Model ringkasan, meringkas inti sari persoalan.
Aspek ekstrinsik-intrinsik dan tulisan ruwet
Artikel jurnalistik pada hakikatnya mirip dengan karya tulis akademik, bahkan dengan jenis tulisan lainnya, yakni tak pernah lekang dari konteksnya. Oleh karena itu, ia lekat dengan aspek intrinsik dan ekstrinsik. Dalam pandangan instrinsik, sudah seharusnya dilakukan penelitian ulang, pengecekan ulang, dan bahkan falsifikasi terhadap hasil suatu penelitian, apalagi jika penelitian tersebut digunakan sebagai landasan pelaksanaan suatu kebijakan yang berkaitan de­ngan nyawa manusia.
Sementara itu, dalam pandangan ekstrinsik, pada hakikatnya seorang penulis akan dikategorikan piawai bila mengerti apa yang harus dikatakan, yakni dengan memahami benar-benar target (visi) tulisannya berdasarkan topik utama dan sekaligus mampu menentukan segmentasi pembacanya (misi) dan mahir  mengekspresikan diri dengan baik, yang dilandaskan pada asas kalimat efektif, penalaran, dan kesantunan ejaan.

Pelecehan dan fitnah
Permainan kata amat berbeda dengan stilistika. Di dalam permainan kata, si subjek berupaya keras mempermalukan objeknya. Dalam penegasan lain, si subjek tidak memedulikan masalah etika. Sedangkan dalam  stilistika, subjek secata akademis amat cermat dalam mempergunakan diksi dan mengolah kekuatan metaforanya secara etis dan estetis, sehingga objek yang ditujunya tidak merasa dihina. Di dalam dunia jurnalistik, perihal pencemoohan atau penistaan dikenal dengan sebutan (a) libel alias pelecehan, penghujatan, atau pencemaran yang biasa ditemukan dalam media massa cetak, dan (b) slander alias fitnah yang biasanya ditemukan dalam media massa elektronik.

Etiket, etika, dan moral
Istilah etiket (dari bahasa Francis, etiquette), berkaitan dengan perilaku, tindakan, atau perbuatan seseorang dalam hal peraturan sopan santun.
Sedangkan, istilah etika kerap dimaknai sebagai sikap etis atau etos. Etika adalah cabang ilmu filsafat yang menggeluti ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Dari etika diharapkan muncul sikap, perilaku, dan perbuatan etis.
Istilah moral (dari bahasa Latin, mores), dimaknai sebagai akhlak, tabiat, kelakuan, cara hidup, atau adat-istiadat (yang baik). Moral digunakan sebagai norma (patokan) untuk mengukur kualitas manusia sebagai manusia, atau untuk menetapkan baik-buruknya sikap, tindak-tanduk, dan peri­laku manusia di dalam dunia kerjanya. Dengan wawasan norma moral yang cukup luas, seorang penulis artikel setidaknya akan mencuatkan diri sebagai pribadi yang rendah hati.
Agar tulisan kita bersih dari hawa pencemaran, perhatikan tiga indikator yang berkaitan berikut:
1.    Mempertahankan kebenaran dan kejujuran, terutama jika berkaitan dengan hasil pikiran orang lain.
2.    Memperhatikan atau membutuhkan kode etik.
3.    Menyadari bahwa kita memiliki privilese. Hal ini berkaitan dengan kebebasan penulis, yakni apapun boleh dikemukakan asalkan tidak memuakkan orang lain.
Simak pula hal-hal berikut:
  • Memahami diksi (pilihan kata), dalam pandangan yang lebih pragmatis pada dasarnya diksi bertalian erat dengan masalah ketepatan dan kesesuaian dalam memilih kata-kata.
  • Memahami tabu, menurut Victoria Fromkin dan Robert Rodman (via Paul, 1997), tabu adalah kata-kata yang pantang digunakan di tengah-tengah masyarakat beradab.
  • Memahami eufemisme, pakar bahasa memaknai eufemisme sebagai ungkapan yang lebih halus, lebih sopan, dan lebih baik, sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, menyeramkan, tabu, atau kurang menyenangkan.
Ungkapan Idiomatik, Ejaan, dan Pembentukan Kata
Artikel jurnalistik akan dikatakan komunikatif jika berhubungan antar kalimatnya dilakukan secara kohesif, yakni erat, padu, dan sinergis. Kepiawaian penulis artikel jurnalistik dalam merangkai hubungan antar kalimat, dalam konteks ini akan penulis kaitkan dengan: (a) penggunaan konjungsi atau kata sambung; (b) penggunaan ungkapan dan pasangan idiomatik atau konjungsi idiomatik; (c) kepatuhan terhadap ejaan dan (d) pemahaman terhadap pembentukan kata.

Bermula dari Zeno Asal Siprus
Kata “logika”, yang berasal dari bahasa latin, logos, yakni “perkataan” atau “makna”, konon digunakan pertama kali oleh Zeno dari Citium, Siprus (264-336 SM), ketika menegaskan bahwa filsafat terdiri dari tiga bagian, yakni fisika berfungsi sebagai ladang beserta pemohonannya), logika (berfungsi sebagai pagarnya), dan etika (berfungsi sebagai buah-buahan). Dalam hal logika, Stoa menekankan bahwa dunia dikuasai oleh logos alias akal atau rasio ilahi.
Sebuah artikel yang baik tentu dibangun berdasarkan kalimat-kalimat yang dihubung-hubungkan secara formal (gramatikal) berdasarkan unsur-unsur internalnya. Penghubung formal ini disebut tekstur. Melalaui teksturnya, terjadilah hubungan kohesif dalam wacana itu, yakni hubungan yang erat dan padu.
Relasi kontekstual berkaitan erat dengan kecermatan berpikir, wawasan pengetahuan, pemahaman social cultural, dan (bahkan) kematangan mental si penulisnya. Dalam ungkapan lain, melalui relasi kontekstual,sebuah bangunan wacana akan menjadi koheren atau bertalian secara logis.
Persoalan relasi kontekstual dapat dirinci ke dalam empat tipe berikut ini.
1.    Tipe benar dan berhubungan. Maksdunya, baik kalimat pertama maupun kalimat kedua saling berhubungan.
2.    Tipe benar tapi tak berhubungan. Maksudnya, meskipun makna kedua kalimat itu benar, tapi tak ada hubungan apa-apa di antara keduanya.
3.    Tipe salah tapi berhubungan. Malsudnya, meskipun makna kedua kalimat itu tidak jelas, namun antara keduanya saling berhubungan.
4.    Tipe salah dan tak berhubungan. Maksudnya, makna di antara kedua kalimat itu sama sekali salah dan tak ada hubungannya sama sekali.
Relasi kontekstual, tak pelak berkaitan dengan penalaran. dalam kaitan dengan topik buku ini, penalaran amat dibutuhkan dalam penulisan artikel.

Penalaran, jika dilakukan berdasarkan aruran logika, akan menuntut pelakunya bersikap analitis. Menurut Jujun (1999), misalnya, proses berpikir yang dituntut oleh logika disebut kegiatan analisis. Kemampuan bernalar ini tak semata-mata ditentukan oleh tingkat kecerdasan, tapi lebih ditentukan oleh latihan.
Dalam penulisan artikel, paling tidak kita dapat mengembangkan kemampuan bernalar kita dalam dua cara. Pertama, mempelajari artikel yang ditulis orang lian dengan tujuan mengkajinya secara kritis. Kedua, setelah daya nalitis kita terasah, kita mesti berlatih berbahasa secara produktif.

Menghindari kalimat ingar
Kaliamat ingar adalah suatu bagian pernyataan yang selesai, atau suatu pikiran yang lengkap, yang dibangun melalui rentetan kata-kata yang disusun berdasarkan kaidah.
Kalimat efektif adalah kalimat yang tersusun secara baik, benar, segar, jelas, bening, dan tidak berpeluang memunculkan ingar.
Ciri-ciri kalimat efektif:
1.    Keharmonian.
Keharmonian antara gagasan dan struktur bahasa yang dipakai, menentukan efektif-tidaknya sebuah kalimat. Keharmonian kalimat dapat dilihat berdasarkan ciri-ciri berikut:
a.    Subjek dan predikatnya jelas.
b.    Tidak mengandung subjek ganda.
c.    Cermat dalam menggunakan kata penghubung.
2.    Keparalelan
Maksudnya adalah kesejajaran unsur pembentuk kata atau klausa yang digunakan kalimat.
3.    Ketegasan
Ketegasan dalam kaitan ini adalah upaya si penulis dalam menonjolkan gagasan atau ide pokok kalimatnya. Ketegasan dapat dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut:
a.    Meletakkan kata yang hendak ditonjilkan pada awal kalimat.
b.    Membuat urutan suatu proses atau peristiwa dengan gambaran logis.
c.    Melakukan pengulangan terhadap kata yang ingin ditegaskan.
d.    Melakukan pertentangan terhadap ide yang ingin ditegaskan.
e.    Menggunakan partikel penegas.
4.    Kehematan.
Yakni, tidak menggunakan kata, frase, atau bentuk lain yang dianggap tak perlu.
a.    Menghindari pengulangan subjek.
b.    Menghindari pemakaian superordinat pada hiponimi kata. Hiponimi adalah kata atau ungkapan yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu kata atau ungkapan lain.
c.    Menghindari dua kata yang bersinonim yang dipakai sekaligus dalam sebuah kalimat.
d.    Tidak menjamakkan kata-kata bentuk.
5.    Kecermatan. Yakni cepat menggunakan kata-kata dalam kalimat.
6.    Kelogisan. Yakni, logis dalam mengemukakan ide kalimat.
7.    Kevariasian.
a.    Membentuk kalimat pembuka dengan frase keterangan, frase benda, frase kerja, dan dengan partikel penghubung.
b.    Membentuk kalimat pembuka dengan kata modal.
c.    Membentuk kalimat pembuka dengan menempatkan subjek atau predikat pada awal kalimat.

Jenis alinea dan syarat alinea yang efektif
Alinea adalah satuan bahasa yang biasanya merupakan penggabungan beberapa kalimat. Dalam memadukan kalimat menjadi alinea, yang perlu diperhatikan adalah kepaduan kalimatnya, sehingga memantulkan kesatuan pikiran.

Berdasarkan posisi kalimat topiknya, alinea dapat dibedakan atas empat macam, yakni:
1.    Alinea deduktif, yakni dengan menempatkan kalimat pokok pada awal kalimat.
2.    Alinea induktif, yakni menguraikan atau menjelaskan secara terinci apa yang hendak dibicarakan, kemudian diakhiri dengan pokok pembicaraan.
3.    Aline campuran (Deduktif-Induktif), yakni bila kalimat pokokditempatkan pada bagian awal dan akhir alinea.
4.    Alinea kalimat topik, yakni alinea yang disusun denga kalimat yang informasinya sama pentingnya, sehingga seluruh kalimat tersebut boleh dianggap sebagai kalimat topik.
Sifat alinea dapat dilihat melalui jenis karangan yang sudah dikenal, yakni persuasi, argumentasi, narasi, deskripsi, dan eksposisi.
·    Alinea persuasif, jika penulisnya bermaksud mempromosikan sesuatu dengan cara memengaruhi pembaca.
·    Alinea argumentatif, jika penulisnya berniat membuktikan snatu masalah dengan alasan yang mendukung.
·    Alinea naratif, jika penulisnya hendak menuturkan jalinan suatu peristiwa atau sebab-akibat suatu keadaan.
·    Alinea deskriptif, jika penulisnya ingin melukiskan atau meng-gambarkan sesuatu, sehingga sesuatu itu seolah-olah hadir di depan mata pembacanya.
·    Alinea ekspositoris, jika penulisnya bermaksud memaparkan se­suatu fakta atau kejadian tertentu, dengan tujuan demi mene-rangjelaskan sesuatu atau kejadian tersebut. 

Pascawacana

Ketahanan Kritik dan Kiat Cepat Menulis Artikel
Menulis artikel jurnalistik, secara empirik, setidaknya rnerujuk ke sejumlah kenyataan. Misalnya, pertama, menulis belum sepenuhnya bisa dijadikan mata pencarian tetap Kedua, dituntut oleh kenyataan internalnya, media massa cetak kita pada umumnya memiliki halaman yang terbatas. Lalu, ketiga, artikel kita harus benar-benar menarik, baik dari sudut pandang redakturnya maupun dari segi-segi aktualitas, faktualitas, dan gaya penyajian.

Dalam perspektif filosofis, hendaknya kita juga menyadari bahwa menulis artikel jurnalistik, selain mendatangkan pahala bagi penulisnya (karena memberi pencerahan bagi orang lain), juga sekaligus mendatangkan katarsis bagi penulisnya. Istilah katarsis, yang diungkapkan pertama kali oleh para filsuf Yunani, merujuk pada upaya pembersihan, pencucian, atau penyucian emosi-emosi individu melalui pengalaman estetis. Dengan demikian, dalam ungkapan lain, katarsis melukiskan kelegaan jiwa seorang penulis ketika berhasil merampungkan tulisannya. Implikasinya, kita juga menuntut redaktur media massa cetak yang pikirannya terkatarsis. Yakni, redaktur yang tidak tergesa-gesa menolak pemuatan sebuah artikel seraya berkata bahwa "kami kesulitan ruang pemuatan". 

Kontemplasi terhadap kritik
Dalam konteks ini, mungkin kita juga perlu berkontemplasi, mengapa kita sering kali alergi terhadap kritik. Dengan berkontem­plasi, diharapkan batin kita akan mengalami katarsis. Selain menjaga kecermatan berpikir seraya memperluas cakrawala pengetahuan, seorang penulis artikel jurnalistik juga dituntut mesti tahan terhadap kritik. Satu hal yang amat penting, kebebasan berpikir tidak beranalogi langsung dengan kenaifan berpikir. Tanpa kritik tidak mungkin pula kehidupan komunikasi adab akan berlangsung mulus di jagat tulis-menulis artikel. Kritik memang jalin-menjalin dengan masalah ego (keinginan pribadi) dan harga diri (kehormatan) yang direcoki tingkat arogansi. Makin tinggi tingkat arogansi seseorang, makin ia merasa ego dan harga dirinya berada di atas orang lain, maka makin ogah pula ia dikritik. Di dalam kamus hidupnya tidak ada kata “aku salah", kecuali "akulah yang paling mampu". 

Kiat cepat menulis artikel jurnalistik

Pilihan I: merumuskan topik. Rumuskanlah topik atau pokok pikiran kita. Cukup dalam satu kalimat atau alinea pendek. Pemicu ilham, kalau kita kesulitan, bisa diambilkan dari berita yang sedang hangat (news peg). Lalu,  perhatikan:  (a) tatalah pokok pikiran  secara  logis.  (b) kemudian, dukunglah rumusan topik tersebut de­ngan referensi; yang bisa kita cungkil dari fakta, kepustakaan, atau informasi pendukung lainnya; (c) tariklah benang merah antara rumusan pokok pikiran dan referensi pendukung tersebut. Lalu,  buatlah  simpulannya; dan (d) munculkanlah pokok pikiran pada titik-titik tertentu, misalnya  di  teras, secara berulang pada sejumlah tempat dalam  berbagai  variasi, dan bisa pula pokok pikiran sengaja disembunyikan, agar pembaca penasaran dan menduga-duga ke mana arah artikel kita.

Pilihan II: mernbuat ragangan atau diagram. Jika pokok pikiran kita masih bersifat terlalu umum, "terjemahkanlah" atau "bumikanlah". Caranya, pertama dengan memberikan contoh atau ilustrasi. Kedua, melakukan kontras atau perbandingan. Ketiga, menggunakan metafora dan analogi. Keempat, bisa pula dengan melukiskan sebab-akibat. Dari susunan ini, kemudian buatkanlah ragangan (outline) atau diagram (rancang-grafik), yang pada hakikatnya berupa proses penggolongan dan penataan  berbagai fakta ke dalam sub-subpokok pikiran. 

Pilihan III: merumuskan pernyataan tesis. Nyatakanlah informasi yang hendak kita sampaikan dalam wujud pernyataan tesis atau kalimat yang mengandung pokok pikiran. 

Pilihan IV: menyusun body artikel. Menyusun body artikel dapat dilakukan dengan cara merancang (bentuk) sejumlah alinea di layar komputer kita. Setelah merumuskan gagasan utama artikel kita, rancanglah seiumlah alinea. Kemudian. di dalam tiap-tiap rancangan alinea itu kita sebarkan kalimat topik yang mendukung gagasan utama. Dengan demikian, kita tinggal merajut kalimat-kalimat topik tersebut menjadi artikel yang utuh. 

Pilihan V: menulis pendahuluan dan simpulannya. Kiat lain menulis artikel jurnalistik secara cepat adalah dengan terlebih dahulu menulis pendahuluan dan simpulannya secara sekaligus. Kendati begitu, kiat ini akan berjalan baik jika kita memahami makna pendahuluan dan makna simpulan secara filosofis. Dengan demikian, pendahuluan mestilah (a) mengantarkan pembaca ke dalam pokok pembicaraan; (b) menggugah perhatian pembaca; dan (c) mengajak pembaca untuk mengetahui isi seluruh artikel. Sedangkan, simpulan, sebagai intisari seluruh uraian, diupayakan agar mengesankan pembaca.

Ada hal penting yang patut disampaikan dalam bab terakhir ini. Yakni, janganlah lupa memasukkan anasir humor, anekdot, atau lelucon ke dalam artikel jurnalistik kita, sepanjang tidak menimbulkan pelecehan atau penistaan.