Rangkuman
Berani Menulis Artikel
Esai, Features, dan Artikel Jurnalistik
Tulisan atas nama pribadi, yang ciri khasnya memang mencantumkan nama pribadi penulisnya, di dalam media massa cetak biasanya disebut artikel. Namun, selain artikel, ada dua jenis tulisan lainnya yang acap kali juga atas nama pribadi, yang dikenal sebagai esai dan features. Esai adalah jenis tulisan berbentuk prosa yang mempersoalkan sesuatu hal sejauh hal itu menarik minat penulisnya. Features didefinisikan sebagai karangan prosa berbentuk ringkas-padat yang disajikan secara naratif dan sarat mengandung unsur human interest (makna kemanusiaan). Features sulit dibedakan dari esai, karena esai juga dapat berbentuk karangan prosa ringkas-padat yang disajikan secara naratif. Namun, penulis cenderung menggarisbawahi bahwa esai sama dengan features.
Perbedaan/Persamaan Artikel dengan Esai/Features
Artikel:
· Ekspositoris-argumentatif;
· Berpeluang mendatangkan pencerahan;
· Topiknya dipicu dari hal yang aktual;
· Pantulan pribadi penulisnya;
· Memecahkan persoalan;
· Bentuk ringkas-padat;
· Gaya dan nada penulisannya kebanyakan tegas, lugas, dan serius.
· Berpeluang mendatangkan pencerahan;
· Topiknya dipicu dari hal yang aktual;
· Pantulan pribadi penulisnya;
· Memecahkan persoalan;
· Bentuk ringkas-padat;
· Gaya dan nada penulisannya kebanyakan tegas, lugas, dan serius.
Esai/Features:
· Ekspositoris-persuasif;
· Berpeluang mendatangkan pencerahan;
· Topiknya dipicu dari hal yang fragmentaris;
· Pantulan pribadi penulisnya;
· Menyajikan persoalan;
· Bentuk bisa ringkas-padat;
· Gaya dan penulisannya biasanya ringan, segar, bebas, akrab, dan longgar.
· Berpeluang mendatangkan pencerahan;
· Topiknya dipicu dari hal yang fragmentaris;
· Pantulan pribadi penulisnya;
· Menyajikan persoalan;
· Bentuk bisa ringkas-padat;
· Gaya dan penulisannya biasanya ringan, segar, bebas, akrab, dan longgar.
Jurnalistik, Publisistik, dan Pers
Istilah jurnalisik ternyata bukan berasal langsung dari bahasa Latin diurnal, melainkan tumbuh dari bahasa Inggris journal atau Prancis du jour, yang bermakna “catatan tertulis seseorang mengenai kegiatan sehari-harinya”. Dalam perkembangannya, muncul istilah journalistic (jurnalistik) yang merujuk pada segala aktivitas yang berkaitan dengan tulis-menulis untuk diumumkan.
Di Indonesia, istilah “jurnalistik”, “publisistik”, dan “pers” agaknya digunakan dalam pemahaman yang menurut penulis, terkadang cukup membingungkan. Istilah jurnalistik, umpamanya, merujuk pada aktivitas yang menyangkut kewartawanan, sedangkan istilah publisistik bertalian dengn ilmu jurnalistik sebagaimana diajarkan di kampus-kampus. Sementara, istilah pers, selain (a) orang atau sekelompok orang yang menyampaikan perluasan berita; (b) penyebarluasan berita baik melalui media massa cetak maupun elektronik; juga (c) bentuk usaha yang bergerak di bidang percetakan dan penerbitan.
Kelahiran pers Indonesia memang tak lepas dari semangat jurnalisme kapitalisme Eropa zaman kolonial. Dalam hubungan dengan sejarah bahasa dan pers nasional, yang patut dicatat adalah kiprah R.M. Tirtoadisoerjo, seorang pengusaha asli pribumi yang menerbitkan Medan Prijaji (1907) di Bandung. Tak heran di kemudian hari R.M. Tirtoadisoerjo disebut sebagai Bapak Wartawan Indonesia. Pers Indonesia dewasa ini lebih berupaya menampilkan diri sebagai profesional yang berwawasan mondial sekalipun mondialisme yang diusungnya itu terkadang berkesan hanya dimaknai sebagai kebebasan dalam mengungkapkan hal-hal yang seronok, sensual, dan porno.
Ciri-ciri Komunikasi Massa:
· Bersifat searah.
· Menunya beraneka-ragam.
· Sebarannya tak terbatas.
· Segmentasinya tertentu.
· Terlembaga secara profesional.
Bentuk-bentuk Media Massa Cetak
· Majalah (magazine): terbitan berkala yang memuat berbagai artikel, berita olahan (depth reporting), berita investigatif, cerita, dongeng, mitos, dan legenda.
· Jurnal (journal): catatan harian atau buku harian. Jurnal memuat kisah, pengalaman, pikiran, atau peristiwa yang secara runtut menimpa penulisnya.
· Koran (newspaper) adalah terbitan berkala yang berisi artikel, berita langsung, dan iklan. Koran biasanya dicetak pada kertas berukuran plano.
· Tabloid adalah kumpulan berita olahan atau berita investigatif, artikel, cerita, atau iklan yang terbit berkala dan berukuran lebih kecil dari koran.
· Buletin adalah kumpulan berita, artikel, cerita, atau iklan yang terbit berkala dan dicetak pada kertas berukuran broadsheet. Wujudnya lebih sederhana dari majalah. Buletin biasanya terbit dikalangan kelompok saja.
Pembentukan Opini Publik
Menurut hipotesis Elihu Katz, sebagaimana dikutip Djafar (1991), pengaruh media massa terhadap masyarakat muncul secara bertingkat. Mula – mula, ia “menyerang” mereka yang terkategori pemimpin opini (opinion leader), setelah itu barulah media massa memengaruhi masyarakat secara luas.
Berikut pembagian halaman opini :
· Tajuk rencana; disebut sebagai “induk karangan” pada majalah karena disitulah cerminan sikap, pandangan, atau opini pihak penerbit. Fungsi tajuk rencana; ramalan (forecasting), tafsiran (interpretating), galian (explorating).
· Pojok; bertujuan untuk mengkritisi suatu peristiwa yang diberitakan saat tersebut. Pojok ditulis secara singkat, lugas, dan jenaka.
· Karikatur; bertujuan untuk mengkritik melalui media lukis sesuai pemberitaan koran tersebut.
· Kolom; bagian yang disediakan khusus untuk kolumnis (penulis tetap). Isinya berupa komentar atau tanggapan pribadi terhadap suatu peristiwa yang aktual.
· Artikel; adalah tulisan lepas mengenai berbagai hal aktual yang bertsifat opini pribadi penulisnya. Meskipun bersifat opini, penulis artikel berangkat dari sejumlah referensi. Tulisan opini yang tidak menggunakan referensi biasanya disebut esai.
· Surat pembaca; salah satu jenis opini publik yang dianggap paling ampuh sebagai sarana berkomunikasi langsung antar warga masyarakat.
Faktor-faktor pemicu opini publik yang perlu diperhatikan dalam penulisan artikel:
· Adanya isu, yang membangun sikap kolektif, sehingga muncul pro-kontra, sampai terjadinya konsensus.
· Adanya publik, yakni kelompok yang tertarik akan isu tersebut.
· Adanya pilihan – pilihan kompleks yang dilakukan publik.
· Adanya alat penyampai opini.
· Adanya keterlibatan banyak individu.
Manusia, Bahasa Biasa dan Postmodernisme
Dari sudut wacana komunikasi, terbukti bahwa pesan yang dipublikasikan seseorang melalui karya tulisnya bisa memenuhi kebutuhan informasi sekelompok orang.
Sebagaimana dibuktikan sejarah, pemikiran akan terus hidup meskipun orangnya sudah tidak ada. Hal ini adalah implikasi pada kepiawaian seseorang dalam menulis atau berbahasa.
Tanpa bahasa manusia tidak mungkin mengomunikasikan pikirannya kepada orang lain. Sebagai produk bahasa, bahasa merupakan pengembang kebudayaan itu sendiri.
Pesan dan Kebutuhan Informasi
Pesan disiarkan seseorang melalui karya tulisnya bisa memenuhi kebutuhan inggrmasi sekelompok orang. Implikasinya terbukti pula bahwa sebuah karya tulis ternyata mampu membuat penguasa kalang kabut.
Manusia: Bebahasa ataukah Berpikir?
Sebagaimana dibuktikan sejarah, pemikiran akan terus hidup sekalipun orangnya telah dilenyapkan. Hal ini bila dipertalikan dengan topik pembicaraan ini, berimplikasi pada kepiawaian seseorang dalam tulis-menulis atau dalam berbahasa. Intinya, andai memang kita memiliki pemikiran yang logis, bernafas, cerdas, jangan ragu-ragu untuk melahirkannya melalui artikel jurnalistik.
Dari Analisis Bahasa ke Sruktruralisme
Wahyu Wibowo mengutip Ernst Cassirer (1874-1945), filsuf Jerman yang beraliran neo-Kantianisme. Manusia memiliki dapat berpikir baik, teratur, logis, dan sistematis karena ia memiliki bahasa. Oleh karena itu dalam wacana linguistik bahasa didefinisikan sebagai sistem simbol bunyi bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap), yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang digunaan sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia dalam melahirkan perasaan dan pikirannya.
Abad ke-20 adalah Abad Bahasa
Strukturalisme menekankan bahwa bahasa memiliki unsur yang saling berhubungan atau satu-satunya objek linguistik yang sahih adalah sistem bahasa, memang berkembang pesat pada awal abad ke-20 ke seluruh dunia dan menghilhami para akademisi dalam berbagai bidang ilmu.
Sebagai salah satu mazhab dalam Filsafat Kontemporer (filsafat abad ke 20), Filsafat Analitik muncul sebagai reaksi keras terhadap idealisme khususnya Neo-Hegelianisme di Inggris yang cenderung mengarah pada hal-hal empirik seraya menghindari hal-hal metafisis. Pertentangan antara kedua filsafat itu diuraikan dalam paradigma antara John Locke (empirik) dan Hegel (dialektika); jika empirisme Loke menegaskan bahwa semua harus dapat dilihat dan dibuktikan secara metematis melalui metode induksi, idealisme Hegel justru menekankan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam kebergantungan pada jiwa melalui metode dialektika.
Mahzab baru ini dikenal dengan nama Mazhab Analitik Bahasa, yang juga disebut Filsafat Analitik, Filsafat Bahasa, atau Analisa Logika. Keempat istilah tersebut mengandung pengertian yang sama yaitu suatu pandangan yang berupaya menjelaskan penggunaan bahasa dalam penggunaan sehari-hari.
Austin dan Filsafat Bahasa Biasa
Menurut John Langshaw Austin (1911-1960), penggunaan bahasa tidak boleh dilepaskan dari situasi konkret yakni pada saat ucapan-ucapan dikemukakan dan dari fenomena-fenomena yang dimaksudkan oleh ucapan-ucapan tersebut.
Postmodernisme di dalam Abad Bahasa
Postmodernisme muncul di Amerika Utara 1979 ketika Universitas Quebec menyelenggarakan diskusi mengenai problem sosiologis masyarakat postindustri, khususnya pengaruh perkembangan teknologi terhadap masyarakat masa depan.
Jean Francois Lyotard menyampaikan laporan penelitiannya tentang berbagai perubahan di bidang pengetahuan dalam masyarakat-masyarakat industri maju akibat pengaruh teknologi informasi baru.
Postmodernisme menolah segala bentuk narasi besar. Tidak ada kebenaran tunggal yang universal. Yang ada adalah kebenaran-kebenaran. Yang ada hanyalah narasi-narasi kecil yang melegitimasikan berbagai macam praktik pengetahuan di dalam postmodernisme tidak lagi dilegitimasikan pada kesatuan (homology), tetapi pada pluralitas (paralogy). Untuk itu bahasa menjadi perantara mutlak bagi setiap pengetahunan.
Untuk mendeskripsikan fenomena pengetahuan kontemporer, maka dipakailah metode Wittgenstein mengenai tata permainan bahasa. Kekhasan analisis dari metode ini adalah membuka prespektif kesadaran dan menerima realitas plural. Setiap pengetahuan bergerak dalam permainan bahasanya masing-masing. Implikasinya tiap-tiap bahasa memiliki peraturannya sendiri.
Media Massa dan Kesadaran Kritis Berbahasa
Bertalian dengan iliustrasi penerbitan pers bawah tanah, agaknya kita patut bersyukur bahwa pada saat itu, masyarakat mendapat bacaan alternatif yang berada di luar pakem Orde Baru. Bahkan, boleh digaris bawahi, kemunculan penerbitan pers bawah tanah kemudian turut menyemangati iklim kebebasan dan kemandirian pers nasional di sepanjang era reformasi.
Pemahaman tersebut patutlah digaris bawahi. Sebab, sebagai pilar negara keempat, pers sering kali dianggap sebagai panutan dan teladan dalam berbahasa. Artinya, apapun yang disodorkan media massa, itulah yang dianggap benar oleh masyarakat. Sebagai contoh, ingatlah pada sejumlah kesalahkaprahan yang dilakukan media massa, yang oleh masyarakat kemudian dianggap benar, seperti pemakaian kata mengkritisi (seharusnya, mengkritik). Beranalogi dengan hal diatas, bahasa Indonesia adalah juga alat komunikasi terpenting jurnalis Indonesia dalam menyampaikan pesan, ungkapan perasaan, atau emosi kepada masyarakat pembacanya. Bayangkan, masih di tengah = tengah iklim penjajahan Belanda, mereka sudah menyiapkan bahasa ndonesia sebagai bahasa persatuan, yang lantas dituangkan ke dalam ikrar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Berpijak dari kenyataan di atas ini, selaras dengan ucapan Bung Karno mengenai “jasmerah”, tidak ada salahnya jika kita menghargai eksistensi bahasa Indonesia dengan cara menyelami sejarah panjangnya. Artinya, ketika dewasa ini kita masih kebingungan terhadap format dan makna reformasi, demokrasi, dan keadilan, bahasa Indonesia justru sudah melakukannya secara konstruktif.
Namun, lepas dari stukturnya yang sederhana dan bunyinya yang sedap, yang jelas dewasa ini bahasa Indonesia bukanlah bahasa melayu yang kita kenal. Bahasa Indonesia telah mengalami perubahan, baik akibat pengaruh internal maupun eksternal.
Dalam konteks inilah, generasi muda dituntut berperan aktif dalam proses pengembangan bahasa Indonesia. Peran ini, pertama, adalah peran sebagai subjek, karena diri mereka sendirilah yang bertindak sebagai Pembina bahasa Indonesia. Sedangkan, kedua, peran sebagai objek, yakni generasi muda itu sendiri yang menjadi sasaran pengembangan bahasa Indonesia.
Artinya, generasi muda kita sebenarnya amat tergantung generasi selingkungnya. Implikasinya, jika kita pandang dari sudut determinisme, sudahkah kita memiliki sistem manajemen sumber daya manusia yang baik dan benar dalam hal kepedulian terhadap bahasa Indonesia.
Kendati begitu, ironisnya, mengapa hingga kini eksistensi bahasa Indonesia masih disepelekan dan bahkan merupakan momok bagi sebagian besar rakyat Indonesia terpelajar? Atau, jika hendak diungkapkan dalam nada lain, mengapa bahasa Indonesia belum juga menjadi tuan dirumahnya sendiri? Fakta membuktikan, tidak sedikit karya tulis mahasiswa kita yang lemah dalam hal penalaran, kacau dalam penggunaan ejaan, dan mubazir dalam pilihan kata.
Bentuk – bentuk Wacana
Interferensi yang terjadi antara ragam bahasa Indonesia lisan dan tulis, secara filosofis membuktikan bahwa bahasa Indonesia masih kurang dipedulikan dan hal ini mengimbas pada budaya menulis artikel jurnalistik.
Untuk menghindari komentar kurang sedap terhadap artikel yang kita kirimkan, ada baiknya kita melakukan perubahan drastis terhadap artikel yang kabar pemuatannya tidak jelas. Dengan cara mengubah judul, mengubah lead, mengubah data dan juga sudut pandang kita.
Menurut Bakker (1990), pengetahuan manusia dalam tataran subjek pada umumnya terjadi karena adanya komunikasi dengan kenyataan, idea tau kesadaran. Pasalnya manusia menerima pengaruh dari lingkungannya. Ia memahaminya, mangungkapkannya juga sebaliknya memberi makna.
Dalam diri manusia setidaknya dibedakan menjadi tiga rangkap pengetahuan yang tingkat, kualitas dan kemampuannya berbeda-beda. Pengetahuan itu adalah pengetahuan inderawi, pengetahuan naluri dan pengetahuan rasional.
Topik atau pokok masalah adalah pokok pembicaraan. Topik dapat meliputi persoalan budaya, sosial, teknik, keuangan dan seterusnya. Dalam memilih topik, harus dipertimbangkan beberapa hal hal yang menguntungkan dari sudut penulis :
· Topik tersebut bermanfaat dan layak dibahas
· Topik tersebut harus topik yang menarik menurut kita.
· Topik tersebut cukup kita kenal baik (berada disekitar kita.
· Topik jangan terlali baru.
Setelah menentukan topik, penulis wajib mengetahui tentang tema. Pengertian tema dapat diurai sebagai berikut, pertama dari sudut praktis, tema bermakna dasar cerita (sama dengan topik yaitu bahan pembicaraan). Kedua, dari sudut reseptif berarti amanat utama yang diterima pembaca.
Prinsip penulisan artikel jurnalistik:
· Singkat, padat, kreatif dan berkonotasi positif.
· Mencerminkan tulisan dan mudah diingat
· Mudah dibaca dan diungkapkan
· Tidak kemaruk dalam penggunaan bahasa asing
· Dapat diterima secara umum.
· Harus berbentuk frase, bukan kalimat.
Bentuk-bentuk wacana dapat dilihat sebagai berikut :
· Argumentasi
· Deskripsi
· Eksposisi
· Persuasi
· Narasi
Unsur pertautan:
Metonimi, mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain yang pertaliannya sangat dekat. "Saya kurang suka mendengarkan Dewa."
Sinekdoke, menyebut sebagian dari sesuatu hal yang menyatakan keseluruhannya. "Pertandingan basket akan digelar antara Cina melawan Indonesia."
Alusi, menunjuk secara tidak langsung ke suatu peristiwa atau tokoh dengan anggapan pembaca juga mengetahui peristiwa atau tokoh itu. "Akankah Tragedi Trisakti terulang kembali?"
Eufemisme, mempergunakan kata-kata dengan arti yang baik dan dengan tujuan yang juga baik, untuk menghindari ketersinggungan orang lain. "Si Candra tidak terlalu cerdas, tapi mengapa ...."
Eponim, mempergunakan nama seorang tokoh yang amat terkenal karena sifat-sifat tertentunya. "Tahun ini Dewi Sri datang ke desa kita, buktinya panen kita tidak gagal."
Epitet, mempergunakan kata-kata dalam bentuk frase deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama seseorang atau sesuatu. "Sejak dibersihkan Trantib, tidak tampak lagi kupu-kupu malam berseliweran di situ."
Antonomasia, penggunaan gelar resmi atau jabatan sebagai pengganti nama diri. "Penduduk kampung itu berharap agar Gubernur dapat menghadiri upacara itu."
Erotesis atau pertanyaan retoris, pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban, sekedar ingin menimbulkan efek tertentu. "Benarkah kita memerlukan gerakan kencangkan ikat pinggang, jika melihat ulah wakil rakyat ...?"
Pararelisme atau kesejajaran, pemakaian kata-kata yang menduduki fungsi yang sama dalam susuna gramatikal yang juga sama. "Korupsi tidak saja harus dikutuk, tapi juga harus diberantas sampai ke akar-akarnya."
Unsur perulangan atau repetisi:
Aliterasi, pemanfaatan bunyi konsonan yang sama pada awal kata. "Pejabat kita kini kadang keterlaluan dalam menyikapi para pedagang kaki lima."
Asonansi, pemanfaatan bunyi vokal yang sama pada susunan kata. "Pejabat kita di Jakarta hendaknya seia-sekata bersatu dalam menganggulangi nasib rakyat yang menderita."
Antanaklasis, mengulang kata-kata yang sama. "Berkat buah penanya yang tajam, Mas Antasena menjadi buah bibir di kantornya."
Kiasmus, perulangan kata-kata yang sekaligus mencerminkan inversi. "Manusia itu terkadang aneh, yang miskin seringkali merasa kaya, sedangkan yang kaya justru kerap merasa miskin."
Epizeukis, perulangan kata-kata yang bersifat langsung. "Hidup di Jakarta, ingatlah, kamu harus berhemat, berhemat, dan berhemat."
Anafora, perulangan kata pada awal kalimat. "Di Jakarta kamu harus berhemat. Di Jakarta kamu harus tahu diri. Di Jakarta kamu harus banyak teman.
Struktur artikel jurnalistik
Secara teoritis: teras (lead), tubuh (body), dan penutup (ending).
Macam-macam teras:
Model 5W 1H.
Model kisahan. "Pagi itu, di tepi jalan depan sebuah hetel di Jalan Sawo Manila, Pasar Minggu, Jak-Sel, sesosok mayat gadis muda tampak terbujur. Bajunya terkoyak ...."
Model pertanyaan.
Model kutipan langsung.
Model deskriptif. "Dari luar, gedung Kampus Unas tak mengesankan sebuah kampus yang selama ini telah menghasilkan ribuan sarjana. Pasalnya, sosok gedung ini lebih mirip rumah tua peninggalan Belanda dengan halaman luas yang asri. Apalagi, warna dindingnya ...."
Model ucapan kondang. "Jangan sekali-kalimelupakan sejarah. Ungkapan Bung Karno ini, agaknya, masih pas ...."
Model menuding. "Anda tentu masih ingat Ali Sadikin? Itu, lho, satu-satunya gubernur DKI Jakarta yang paling peduli terhadap Ibu Kota. Terbukti, pada musibah ...."
Model sapaan, menyajikan pokok pikiran dalam bentuk surat. "Kawanku, pengelolaan Jakarta sebagai ibu kota negara, belakangan ini, makin tak ...."
Model parodi, mengutip motto yang kondang, dengan tujuan mencuatkan kejenakaan. "Begitu saja, kok, repot. Mungkin, begitulah yang ada dalam pikiran Mas Hendra Sukarno ketika harus memilih menerima ...."
Model figuratif, menggunakan bentuk kiasan atau majas. "Bagai panas setahun dihapus hujan sehari, begitulah kesan masyarakat terhadap Komisi Pemilihan Umum yang ...."
Model literer, mengutip karya sastra yang sudah dikenal luas. "Kisah Si Malin Kundang terjadi lagi di Bekasi, ketika Mustafa (18) kepergok tengah memukuli ibu kandungnya, Nyi Desi (41). Warga yang marah ...."
Model penggoda, mengajak pembaca bergurau. "Pengumuman yang kita nanti-nantikan akhirnya muncul; ya, sekitar awal September 2005, kita bisa mendengar pengumuman Pemerintah tentang kenaikan harga BBM dan barangkali juga tarif listrik ...."
Model ringkasan, memuat inti cerita.
Model stakato, disebut juga teras unik dan ditampilkan secara informatif dan imajinatif. "Jelegur! Tret-tet-tet-tet! Jelegur! Tret-tet-tet-tet, petasan terus berbunyi mengiringi langkah sepasang pengantin Betawi, yakni Bang Lilik dan ...."
Model dialog. "Masuklah! Anda siapa?" ujar pemilik rumah itu, seorang wanita setengah baya yang masih menyisakan kecantikannya, dengan ramah ...."
Model kumulatif, menyajikan peristiwa secara berurutan, sehingga membawa pembaca ke antiklimaks peristiwa. "Masa kecilnya sudah mencuri mangga tetangga. Masa remajanya ia sudah berurusan dengan polisi gara-gara mencopet. Masa mudanya ia sudah merasakan dinginnya sel penjara karena memerkosa pembantu rumah tangganya. Kini, ia, Tuan Candra, adalah direktur akademi akuntansi yang sukses."
Model kontras. "Bibir Monang yang tebal tak bisa menyembunyikan sinar kecewa dari matanya, ketika mendengar Rohani, gadis yang selama ini diincarnya, akan melangsungkan pernikahan. Tubuh Monang yang tinggi besar itu pun ambruk, tak kuat menahan kecewa."
Model epigram, menggunakan ungkapan yang sudah dikenal luas. "Ada ubi ada talas, ada budi ada balas, kiranya tepat untuk melukiskan hubungan antara AS dan Indonesia."
Macam macam tubuh:
Model spiral, merinci pokok persoalan ke dalam alinea dan kemudian lebih merincinya ke dalam alinea-alinea berikutnya. Begitu seterusnya, hingga mencapai suatu gambaran persoalan yang kembali ke teras, sehingga tulisan menjadi bulat, padu, dan komprehensif.
Model rekatan, menghubungkan alinea satu dan lainnya dengan partikel penghubung atau penegas.
Model blok, menyebarkan atau membagi-bagi pokok pikiran atau bahan cerita ke dalam alinea terpisah-pisah. Hal ini seolah-olah, membuat arah tulisan tak runtut atau kisahnya terkesan melompat-lompat.
Model tematik, pokok pikiran yang terdapat dalam tiap-tiap alinea menegaskan teras.
Model kronologis, merinci dan mengembangkan alinea berdasarkan hukum sebab-akibat atau peristiwa demi peristiwa.
Macam-macam penutup:
Model simpulan, merumuskan antiklimaks dari keseluruhan persoalan yang telah diuraikan dalam tubuh.
Model menggantung, sengaja membuat pertanyaan atau pernyataan yang tidak selesai.
Model ringkasan, meringkas inti sari persoalan.
Aspek ekstrinsik-intrinsik dan tulisan ruwet
Artikel jurnalistik pada hakikatnya mirip dengan karya tulis akademik, bahkan dengan jenis tulisan lainnya, yakni tak pernah lekang dari konteksnya. Oleh karena itu, ia lekat dengan aspek intrinsik dan ekstrinsik. Dalam pandangan instrinsik, sudah seharusnya dilakukan penelitian ulang, pengecekan ulang, dan bahkan falsifikasi terhadap hasil suatu penelitian, apalagi jika penelitian tersebut digunakan sebagai landasan pelaksanaan suatu kebijakan yang berkaitan dengan nyawa manusia.
Sementara itu, dalam pandangan ekstrinsik, pada hakikatnya seorang penulis akan dikategorikan piawai bila mengerti apa yang harus dikatakan, yakni dengan memahami benar-benar target (visi) tulisannya berdasarkan topik utama dan sekaligus mampu menentukan segmentasi pembacanya (misi) dan mahir mengekspresikan diri dengan baik, yang dilandaskan pada asas kalimat efektif, penalaran, dan kesantunan ejaan.
Pelecehan dan fitnah
Permainan kata amat berbeda dengan stilistika. Di dalam permainan kata, si subjek berupaya keras mempermalukan objeknya. Dalam penegasan lain, si subjek tidak memedulikan masalah etika. Sedangkan dalam stilistika, subjek secata akademis amat cermat dalam mempergunakan diksi dan mengolah kekuatan metaforanya secara etis dan estetis, sehingga objek yang ditujunya tidak merasa dihina. Di dalam dunia jurnalistik, perihal pencemoohan atau penistaan dikenal dengan sebutan (a) libel alias pelecehan, penghujatan, atau pencemaran yang biasa ditemukan dalam media massa cetak, dan (b) slander alias fitnah yang biasanya ditemukan dalam media massa elektronik.
Etiket, etika, dan moral
Istilah etiket (dari bahasa Francis, etiquette), berkaitan dengan perilaku, tindakan, atau perbuatan seseorang dalam hal peraturan sopan santun.
Sedangkan, istilah etika kerap dimaknai sebagai sikap etis atau etos. Etika adalah cabang ilmu filsafat yang menggeluti ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Dari etika diharapkan muncul sikap, perilaku, dan perbuatan etis.
Istilah moral (dari bahasa Latin, mores), dimaknai sebagai akhlak, tabiat, kelakuan, cara hidup, atau adat-istiadat (yang baik). Moral digunakan sebagai norma (patokan) untuk mengukur kualitas manusia sebagai manusia, atau untuk menetapkan baik-buruknya sikap, tindak-tanduk, dan perilaku manusia di dalam dunia kerjanya. Dengan wawasan norma moral yang cukup luas, seorang penulis artikel setidaknya akan mencuatkan diri sebagai pribadi yang rendah hati.
Agar tulisan kita bersih dari hawa pencemaran, perhatikan tiga indikator yang berkaitan berikut:
1. Mempertahankan kebenaran dan kejujuran, terutama jika berkaitan dengan hasil pikiran orang lain.
2. Memperhatikan atau membutuhkan kode etik.
3. Menyadari bahwa kita memiliki privilese. Hal ini berkaitan dengan kebebasan penulis, yakni apapun boleh dikemukakan asalkan tidak memuakkan orang lain.
Simak pula hal-hal berikut:
- Memahami diksi (pilihan kata), dalam pandangan yang lebih pragmatis pada dasarnya diksi bertalian erat dengan masalah ketepatan dan kesesuaian dalam memilih kata-kata.
- Memahami tabu, menurut Victoria Fromkin dan Robert Rodman (via Paul, 1997), tabu adalah kata-kata yang pantang digunakan di tengah-tengah masyarakat beradab.
- Memahami eufemisme, pakar bahasa memaknai eufemisme sebagai ungkapan yang lebih halus, lebih sopan, dan lebih baik, sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, menyeramkan, tabu, atau kurang menyenangkan.
Ungkapan Idiomatik, Ejaan, dan Pembentukan Kata
Artikel jurnalistik akan dikatakan komunikatif jika berhubungan antar kalimatnya dilakukan secara kohesif, yakni erat, padu, dan sinergis. Kepiawaian penulis artikel jurnalistik dalam merangkai hubungan antar kalimat, dalam konteks ini akan penulis kaitkan dengan: (a) penggunaan konjungsi atau kata sambung; (b) penggunaan ungkapan dan pasangan idiomatik atau konjungsi idiomatik; (c) kepatuhan terhadap ejaan dan (d) pemahaman terhadap pembentukan kata.
Bermula dari Zeno Asal Siprus
Kata “logika”, yang berasal dari bahasa latin, logos, yakni “perkataan” atau “makna”, konon digunakan pertama kali oleh Zeno dari Citium, Siprus (264-336 SM), ketika menegaskan bahwa filsafat terdiri dari tiga bagian, yakni fisika berfungsi sebagai ladang beserta pemohonannya), logika (berfungsi sebagai pagarnya), dan etika (berfungsi sebagai buah-buahan). Dalam hal logika, Stoa menekankan bahwa dunia dikuasai oleh logos alias akal atau rasio ilahi.
Sebuah artikel yang baik tentu dibangun berdasarkan kalimat-kalimat yang dihubung-hubungkan secara formal (gramatikal) berdasarkan unsur-unsur internalnya. Penghubung formal ini disebut tekstur. Melalaui teksturnya, terjadilah hubungan kohesif dalam wacana itu, yakni hubungan yang erat dan padu.
Relasi kontekstual berkaitan erat dengan kecermatan berpikir, wawasan pengetahuan, pemahaman social cultural, dan (bahkan) kematangan mental si penulisnya. Dalam ungkapan lain, melalui relasi kontekstual,sebuah bangunan wacana akan menjadi koheren atau bertalian secara logis.
Persoalan relasi kontekstual dapat dirinci ke dalam empat tipe berikut ini.
1. Tipe benar dan berhubungan. Maksdunya, baik kalimat pertama maupun kalimat kedua saling berhubungan.
2. Tipe benar tapi tak berhubungan. Maksudnya, meskipun makna kedua kalimat itu benar, tapi tak ada hubungan apa-apa di antara keduanya.
3. Tipe salah tapi berhubungan. Malsudnya, meskipun makna kedua kalimat itu tidak jelas, namun antara keduanya saling berhubungan.
4. Tipe salah dan tak berhubungan. Maksudnya, makna di antara kedua kalimat itu sama sekali salah dan tak ada hubungannya sama sekali.
Relasi kontekstual, tak pelak berkaitan dengan penalaran. dalam kaitan dengan topik buku ini, penalaran amat dibutuhkan dalam penulisan artikel.
Penalaran, jika dilakukan berdasarkan aruran logika, akan menuntut pelakunya bersikap analitis. Menurut Jujun (1999), misalnya, proses berpikir yang dituntut oleh logika disebut kegiatan analisis. Kemampuan bernalar ini tak semata-mata ditentukan oleh tingkat kecerdasan, tapi lebih ditentukan oleh latihan.
Dalam penulisan artikel, paling tidak kita dapat mengembangkan kemampuan bernalar kita dalam dua cara. Pertama, mempelajari artikel yang ditulis orang lian dengan tujuan mengkajinya secara kritis. Kedua, setelah daya nalitis kita terasah, kita mesti berlatih berbahasa secara produktif.
Menghindari kalimat ingar
Kaliamat ingar adalah suatu bagian pernyataan yang selesai, atau suatu pikiran yang lengkap, yang dibangun melalui rentetan kata-kata yang disusun berdasarkan kaidah.
Kalimat efektif adalah kalimat yang tersusun secara baik, benar, segar, jelas, bening, dan tidak berpeluang memunculkan ingar.
Ciri-ciri kalimat efektif:
1. Keharmonian.
Keharmonian antara gagasan dan struktur bahasa yang dipakai, menentukan efektif-tidaknya sebuah kalimat. Keharmonian kalimat dapat dilihat berdasarkan ciri-ciri berikut:
a. Subjek dan predikatnya jelas.
b. Tidak mengandung subjek ganda.
c. Cermat dalam menggunakan kata penghubung.
2. Keparalelan
Maksudnya adalah kesejajaran unsur pembentuk kata atau klausa yang digunakan kalimat.
3. Ketegasan
Ketegasan dalam kaitan ini adalah upaya si penulis dalam menonjolkan gagasan atau ide pokok kalimatnya. Ketegasan dapat dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut:
a. Meletakkan kata yang hendak ditonjilkan pada awal kalimat.
b. Membuat urutan suatu proses atau peristiwa dengan gambaran logis.
c. Melakukan pengulangan terhadap kata yang ingin ditegaskan.
d. Melakukan pertentangan terhadap ide yang ingin ditegaskan.
e. Menggunakan partikel penegas.
4. Kehematan.
Yakni, tidak menggunakan kata, frase, atau bentuk lain yang dianggap tak perlu.
a. Menghindari pengulangan subjek.
b. Menghindari pemakaian superordinat pada hiponimi kata. Hiponimi adalah kata atau ungkapan yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu kata atau ungkapan lain.
c. Menghindari dua kata yang bersinonim yang dipakai sekaligus dalam sebuah kalimat.
d. Tidak menjamakkan kata-kata bentuk.
5. Kecermatan. Yakni cepat menggunakan kata-kata dalam kalimat.
6. Kelogisan. Yakni, logis dalam mengemukakan ide kalimat.
7. Kevariasian.
a. Membentuk kalimat pembuka dengan frase keterangan, frase benda, frase kerja, dan dengan partikel penghubung.
b. Membentuk kalimat pembuka dengan kata modal.
c. Membentuk kalimat pembuka dengan menempatkan subjek atau predikat pada awal kalimat.
Jenis alinea dan syarat alinea yang efektif
Alinea adalah satuan bahasa yang biasanya merupakan penggabungan beberapa kalimat. Dalam memadukan kalimat menjadi alinea, yang perlu diperhatikan adalah kepaduan kalimatnya, sehingga memantulkan kesatuan pikiran.
Berdasarkan posisi kalimat topiknya, alinea dapat dibedakan atas empat macam, yakni:
1. Alinea deduktif, yakni dengan menempatkan kalimat pokok pada awal kalimat.
2. Alinea induktif, yakni menguraikan atau menjelaskan secara terinci apa yang hendak dibicarakan, kemudian diakhiri dengan pokok pembicaraan.
3. Aline campuran (Deduktif-Induktif), yakni bila kalimat pokokditempatkan pada bagian awal dan akhir alinea.
4. Alinea kalimat topik, yakni alinea yang disusun denga kalimat yang informasinya sama pentingnya, sehingga seluruh kalimat tersebut boleh dianggap sebagai kalimat topik.
Sifat alinea dapat dilihat melalui jenis karangan yang sudah dikenal, yakni persuasi, argumentasi, narasi, deskripsi, dan eksposisi.
· Alinea persuasif, jika penulisnya bermaksud mempromosikan sesuatu dengan cara memengaruhi pembaca.
· Alinea argumentatif, jika penulisnya berniat membuktikan snatu masalah dengan alasan yang mendukung.
· Alinea naratif, jika penulisnya hendak menuturkan jalinan suatu peristiwa atau sebab-akibat suatu keadaan.
· Alinea deskriptif, jika penulisnya ingin melukiskan atau meng-gambarkan sesuatu, sehingga sesuatu itu seolah-olah hadir di depan mata pembacanya.
· Alinea ekspositoris, jika penulisnya bermaksud memaparkan sesuatu fakta atau kejadian tertentu, dengan tujuan demi mene-rangjelaskan sesuatu atau kejadian tersebut.
Pascawacana
Ketahanan Kritik dan Kiat Cepat Menulis Artikel
Menulis artikel jurnalistik, secara empirik, setidaknya rnerujuk ke sejumlah kenyataan. Misalnya, pertama, menulis belum sepenuhnya bisa dijadikan mata pencarian tetap Kedua, dituntut oleh kenyataan internalnya, media massa cetak kita pada umumnya memiliki halaman yang terbatas. Lalu, ketiga, artikel kita harus benar-benar menarik, baik dari sudut pandang redakturnya maupun dari segi-segi aktualitas, faktualitas, dan gaya penyajian.
Dalam perspektif filosofis, hendaknya kita juga menyadari bahwa menulis artikel jurnalistik, selain mendatangkan pahala bagi penulisnya (karena memberi pencerahan bagi orang lain), juga sekaligus mendatangkan katarsis bagi penulisnya. Istilah katarsis, yang diungkapkan pertama kali oleh para filsuf Yunani, merujuk pada upaya pembersihan, pencucian, atau penyucian emosi-emosi individu melalui pengalaman estetis. Dengan demikian, dalam ungkapan lain, katarsis melukiskan kelegaan jiwa seorang penulis ketika berhasil merampungkan tulisannya. Implikasinya, kita juga menuntut redaktur media massa cetak yang pikirannya terkatarsis. Yakni, redaktur yang tidak tergesa-gesa menolak pemuatan sebuah artikel seraya berkata bahwa "kami kesulitan ruang pemuatan".
Kontemplasi terhadap kritik
Dalam konteks ini, mungkin kita juga perlu berkontemplasi, mengapa kita sering kali alergi terhadap kritik. Dengan berkontemplasi, diharapkan batin kita akan mengalami katarsis. Selain menjaga kecermatan berpikir seraya memperluas cakrawala pengetahuan, seorang penulis artikel jurnalistik juga dituntut mesti tahan terhadap kritik. Satu hal yang amat penting, kebebasan berpikir tidak beranalogi langsung dengan kenaifan berpikir. Tanpa kritik tidak mungkin pula kehidupan komunikasi adab akan berlangsung mulus di jagat tulis-menulis artikel. Kritik memang jalin-menjalin dengan masalah ego (keinginan pribadi) dan harga diri (kehormatan) yang direcoki tingkat arogansi. Makin tinggi tingkat arogansi seseorang, makin ia merasa ego dan harga dirinya berada di atas orang lain, maka makin ogah pula ia dikritik. Di dalam kamus hidupnya tidak ada kata “aku salah", kecuali "akulah yang paling mampu".
Kiat cepat menulis artikel jurnalistik
Pilihan I: merumuskan topik. Rumuskanlah topik atau pokok pikiran kita. Cukup dalam satu kalimat atau alinea pendek. Pemicu ilham, kalau kita kesulitan, bisa diambilkan dari berita yang sedang hangat (news peg). Lalu, perhatikan: (a) tatalah pokok pikiran secara logis. (b) kemudian, dukunglah rumusan topik tersebut dengan referensi; yang bisa kita cungkil dari fakta, kepustakaan, atau informasi pendukung lainnya; (c) tariklah benang merah antara rumusan pokok pikiran dan referensi pendukung tersebut. Lalu, buatlah simpulannya; dan (d) munculkanlah pokok pikiran pada titik-titik tertentu, misalnya di teras, secara berulang pada sejumlah tempat dalam berbagai variasi, dan bisa pula pokok pikiran sengaja disembunyikan, agar pembaca penasaran dan menduga-duga ke mana arah artikel kita.
Pilihan II: mernbuat ragangan atau diagram. Jika pokok pikiran kita masih bersifat terlalu umum, "terjemahkanlah" atau "bumikanlah". Caranya, pertama dengan memberikan contoh atau ilustrasi. Kedua, melakukan kontras atau perbandingan. Ketiga, menggunakan metafora dan analogi. Keempat, bisa pula dengan melukiskan sebab-akibat. Dari susunan ini, kemudian buatkanlah ragangan (outline) atau diagram (rancang-grafik), yang pada hakikatnya berupa proses penggolongan dan penataan berbagai fakta ke dalam sub-subpokok pikiran.
Pilihan III: merumuskan pernyataan tesis. Nyatakanlah informasi yang hendak kita sampaikan dalam wujud pernyataan tesis atau kalimat yang mengandung pokok pikiran.
Pilihan IV: menyusun body artikel. Menyusun body artikel dapat dilakukan dengan cara merancang (bentuk) sejumlah alinea di layar komputer kita. Setelah merumuskan gagasan utama artikel kita, rancanglah seiumlah alinea. Kemudian. di dalam tiap-tiap rancangan alinea itu kita sebarkan kalimat topik yang mendukung gagasan utama. Dengan demikian, kita tinggal merajut kalimat-kalimat topik tersebut menjadi artikel yang utuh.
Pilihan V: menulis pendahuluan dan simpulannya. Kiat lain menulis artikel jurnalistik secara cepat adalah dengan terlebih dahulu menulis pendahuluan dan simpulannya secara sekaligus. Kendati begitu, kiat ini akan berjalan baik jika kita memahami makna pendahuluan dan makna simpulan secara filosofis. Dengan demikian, pendahuluan mestilah (a) mengantarkan pembaca ke dalam pokok pembicaraan; (b) menggugah perhatian pembaca; dan (c) mengajak pembaca untuk mengetahui isi seluruh artikel. Sedangkan, simpulan, sebagai intisari seluruh uraian, diupayakan agar mengesankan pembaca.
Ada hal penting yang patut disampaikan dalam bab terakhir ini. Yakni, janganlah lupa memasukkan anasir humor, anekdot, atau lelucon ke dalam artikel jurnalistik kita, sepanjang tidak menimbulkan pelecehan atau penistaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar