Sabtu, 07 April 2012

Orang Tua Otoriter, Didikan Tak Mendidik

“Kamu ga boleh begini, kamu ga boleh begitu! Kamu harus begini, kamu harus begitu!  Kamu ga boleh kuliah di sana, kamu lebih baik kuliah di sini saja. Kamu jangan bergaul sama si A, lebih baik kamu bergaul sama si B”.  Mungkin seperti itulah kata-kata yang biasa dilontarkan orang tua kepada buah hatinya.

Tidak asing lagi fenomena orang tua otoriter yang kian menjadi-jadi dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Terlepas orang tua merupakan sosok yang harus dihormati, realita seperti itu haruslah dihilangkan. Masyarakat, khususnya para orang tua menganggap hal tersebut merupakan sesuatu yang lazim adanya. Mereka beranggapan, sudah seyogianya para orang tua menerapkan hal senada dalam mendidik buah hatinya. Ya, memang biasa. Bisa atau biasa karena terbiasa dan pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan. Sangatlah berbahaya jika sebuah didikan yang tak mendidik tersebut kelak menjadi sebuah kebiasaan dan dianggap lumrah oleh para orang tua.
            
Apakah nenek moyang kita mengajarkan dan mewariskan cara mendidik yang tak mendidik itu? Apakah itu merupakan tradisi turun-temurun? Dalam hal ini tidak bisa saling menyalahkan. Memang tidak semua orang tua memiliki sikap yang otoriter, tergantung kepada individu-individu yang bersangkutan.
            
Sejak kecil anak selalu dididik untuk menghormati, menghargai, santun, dan taat kepada orang tua. Dalam didikan di dalam keluarga, di sekolah, dan didikan kerohanian pun diajarkan hal senada. Di lingkungan keluarga, orang tua mendidik anak agar selalu hormat dan taat kepada orang tuanya, di sekolah, sang guru berpetuah: “Hormatilah ayah dan ibumu”, dalam pendidikan kerohanian pun begitu. Sang ustad (guru ngaji) mengajarkan dan selalu mengingatkan: “Surga ada di telapak kaki ibu”. Dalam riwayat Nabi Muhammad SAW pun diterangkan, Beliau sangat menjunjung tinggi sosok orang tua, terutama sosok ibu.
            
Kembali lagi pada ungkapan di atas: “Bisa atau biasa karena terbiasa dan pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan”. Seperti itulah kenyataan yang ada dan kian bergulir dalam kehidupan masyarakat kita. Kental sekali dengan feodalisme.
            
Tanpa bermaksud mendurhakai orang tua, layangkanlah pertanyaan seperti ini: Apakah orang tua tidak pernah melakukan kesalahan? Apakah orang tua merupakan sosok suci seperti halnya malaikat dan nabi? Di mata Tuhan semua umat manusia itu sama, begitu pun di mata hukum. Di mata Tuhan yang membedakan antara umat manusia yang satu dengan yang lainnya adalah amal, ibadahnya, dan perbuatannya. Semua warga negara memiliki hak yang sama di mata hukum. Tidak ada tebang pilih maupun pengklasifikasian secara khusus. Semuanya diatur dalam Undang-undang Dasar 1945.
            
Cakupan hak asasi manusia sangatlah luas, kita fokuskan saja kepada HAM anak – semuanya diatur dalam Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 20 UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dijelaskan: “Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak”.
            
Dalam UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan: Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan; Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat. Dalam Pasal 3 UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dijelaskan: “Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera”.
           
Berbicara hukum erat kaitannya dengan hak dan kewajiban. Hak-hak anak seperti diamanatkan UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak antara lain: hak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Terkadang orang tua selalu mengabaikan itu. Dalam konteks kehidupan keluarga, kewajiban anak adalah harus menghormati dan taat kepada orang tua. Merekalah yang mendidik dan membesarkan kita. Ketika kewajiban telah dipenuhi si anak, tentunya mereka berhak dalam pemenuhan hak-haknya. Jika dalam hal ini orang tua bersikap otoriter, tidak akan ada timbal balik positif.
            
Kriteria dominan sosok orang tua otoriter adalah selalu mendikte, memerintah, mengkritik, dan menghakimi anak. Ruang gerak anak akan sempit karena batasan-batasan tertentu. Mereka tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan pikirannya. Konsekuensinya, mereka merasa terkekang. Mereka tidak bebas untuk berekspresi karena ruang geraknya dibatasi. Jangan salahkan mereka jika menjadi sosok yang selalu membantah dan memberontak. Akibat dari didikan yang otoriter, mereka rentan labil. Justru terkadang pelampiasan mereka mengarah ke hal-hal negatif.
            
Setiap orang tua ingin menjadi panutan bagi sang buah hatinya, dihormati dan dihargai. Anak-anak pun sangat ingin dimengerti, dipahami, dan dihargai oleh orang tuanya. Berikanlah kesempatan kepada mereka untuk menyampaikan gagasannya, berikanlah dukungan dan kepercayaan kepada mereka, jangan terlalu mendiktenya. Dengan toleransi seperti itu akan mengasah tanggungjawab mereka. Suatu saat mereka harus bisa mandiri. Orang tua cukup memberikan pengarahan dan pengawasan saja, jangan selalu mengintervensi.
            
Dengan didikan yang tak mendidik seperti itulah menyebabkan mental anak-anak bangsa semakin “loyo”. Sejak kecil mereka selalu dijejali perintah-perintah dan larangan-larangan dari orang tuanya tanpa diberi kebebasan dan kepercayaan. Mereka terkesan terbiasa “disuapi”. Berikanlah kebebasan dan kepercayaan kepada mereka agar mereka bisa belajar bertanggungawab. Bebas dalam hal ini adalah bebas yang bertanggungjawab. Jika pola didikan konvensional tersebut diperbaharui, niscaya anak-anak bangsa akan memiliki kemandirian dan bermental “baja”. Pola didik konvensional tersebut sudah cukup kuno untuk diaplikasi saat ini. Alangkah baiknya menjadi orang tua yang lebih bijak dan demokratis.

1 komentar:

  1. Tulisan yang sangat bagus dan pastinya dijadikan dalil untuk melawan OTORITARIANISME yang marak di Indonesia ini!

    BalasHapus