Senin, 26 Desember 2011

Lampion Berenuk, Buah Karya Si Tangan Kreatif


Lampion Berenuk, Buah Karya Si Tangan Kreatif 

Siang itu, Selasa (8/3), di Galeri Kebun Seni Taman Sari Bandung, Jalan Taman Sari No. 69, Bandung, tangan terampil Kang Ucok menari-nari di atas berenuk (buah maja). Buah berbentuk bulat seperti jeruk bali atau melon ini hidup di dataran rendah. Dengan menggunakan mesin bor listrik yang ukurannya kecil, ia tuangkan imaji kreatifnya ke dalam sebuah media (berenuk). Kreativitas dan ketelatenannya itu menciptakan sebuah karya seni yang unik dan menarik: lampion/kap lampu.
            Kang Ucok merupakan seorang seniman yang cukup beken di Kota Kembang. Ia ingin sesuatu yang lain, maka dibuatlah karya seni berbahan berenuk ini, seperti lampion gantung dan lampu dinding. Ini baru pertama kali dibuatnya, desainnya pun belum terlalu banyak. Selain berenuk, tak ketinggalan buah kukuk pun dijadikan lampion yang cantik olehnya. “Semua orang kebanyakan tidak tahu akan buah ini. Mereka menganggap buah itu tidak bisa dimanfaatkan,” ujar pria berkumis tebal  itu.
            Menurut Kang Ucok, bahan baku kerajinan ini sulit didapat di Bandung. Karena dianggap buah yang tidak berguna, saat ini sulit ditemukan. Untuk itu, hingga saat ini berenuk dan kukuk masih dipasok dari luar Bandung, seperti Purwakarta, Sumedang dan Garut.
            Lampion berbahan berenuk tersebut ia kombinasikan dengan material alam lainnya, seperti biji palem, ranting pohon, bambu dan tali rotan. “Dengan tangan-tangan kreatif, bahan yang dianggap sampah sekalipun bisa menjadi karya seni yang bagus dan menarik,” papar Kang Ucok.
            Lama pengerjaan lampion berenuk tersebut sekitar satu jam, tapi tergantung tingkat kesulitannya juga. Kata Kang Ucok, bisa tergantung mood juga. Proses pengeringan berenuk yang paling lama, hingga tiga bulan. Tapi, kalau berenuk yang sudah tua (jatuh dari pohon dengan sendirnya) tidak terlalu lama dalam proses pengeringannya.
            Karya seni lampion berenuk dan kukuk ia garap tak sendiri, terkadang dibantu juga oleh Kang Didi. Menurutnya, lampion seperti ini baru ada di sini saja. Terhitung sejak Januari 2011, baru ada 20 lampion berenuk yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan bahan baku yang sulit didapat.
            Sementara itu, Pramutadi Sadni, menuturkan, awalnya ia mengambil berenuk di rumah temannya. Dari sanalah muncul ide kerajinan dari buah tersebut.
            Pria yang akrab dipanggil Kang Didi itu mengatakan, sejauh ini, lampion berenuk ini masih dipamerkan di Galeri Kebun Seni Taman Sari Bandung saja. Ia belum sempat memasarkannya secara luas, baru dipasarkan ke Sukabumi saja. Ia berharap, ke depannya bisa dipamerkan di Graha Manggala Siliwangi.
            Kang Didi yang juga pemilik dari Galeri Guava Monkey Company mengatakan, lampion berenuk dibanderol dengan harga Rp 500 ribu perunitnya. Cukup mahal, namun sesuai dengan sulitnya bahan baku, proses pengerjannya, terutama ide kreatifnya.
            Untuk sementara ia hanya fokus pada lampion berenuk dan kukuk saja, namun lebih dimaksimalkan dan desainnya dibuat lebih variatif lagi. Untuk desain atau motif lampion tersebut di antaranya adalah etnik wayang, topeng, tumbuhan dan hewan. Lampion berenuk tersebut pun tidak menggunakan pewarnaan, dibiarkan natural saja. “Warna cokelat aslinya saja, tidak dipernis atau pun diwarnai, tapi ke depannya, biar lebih variatif, akan coba diwarnai atau dilukis,” ujar Kang Didi.
            Selain itu, tak hanya lampion lampu dari berenuk dan kukuk saja, semua kerajinan lampu lainnya pun bisa di dapat di Galeri Guava Monkey Company. Kerajinan lampu berbahan bambu, kayu, kertas daur ulang, kertas singkong dan kain parasut terdapat sana. “Untuk harga, mulai dari Rp 25 ribu hingga Rp 2 jutaan,” ujar Kang Didi.
            “Kalau berenuk, buahnya tidak bisa dimakan, tapi kukuk, buahnya bisa dimakan dan berkhasiat untuk mengobati panas dalam,” kata Kang Didi. (*indragusdiman/radarbandung)
           
           
           

Tanggalkan Tongkat Usang

Tanggalkan Tongkat Usangnya,
Kaki dan Tangan Palsu Penggantinya

Penyandang tuna daksa memenuhi salah satu ruangan Panti Sosial “Wyata Guna”, Jalan Pajajaran No. 52, Bandung, Selasa (15/3). Kali ini, mereka datang dengan membawa segenap asa. Mereka yang sudah bosan dengan tongkat penopang kakinya itu, berharap di kemudian hari bisa beraktivitas lebih baik lagi seiring pemasangan kaki dan tangan palsunya itu.
            Pada kesempatan itu, mereka melakukan pengukuran kaki dan tangan yang nantinya akan dibuatkan kaki dan tangan palsu. Semuanya mereka dapatkan secara cuma-cuma.
            Bakti sosial ini diprakarsai Lions Clubs International Distrik 307 B – Indonesia. Kegiatan ini merupakan rangkaian acara konvensi tahunan ke-35 MD 307 yang rencanaya akan digelar pada 26 Mei mendatang di Hotel Panghegar.
            Lembaga sosial yang sudah memiliki sekitar 500 member di seluruh Jawa Barat ini berisi para relawan yang peduli terhadap keberadaan mereka dengan tanpa memandang ras, agama, suku dan bangsa. Mereka mengalokasikan dana untuk pembuatan kaki dan tangan palsu bagi 100 orang. Namun, sementara hanya direalisasikan untuk 50 orang saja, terkait anggaran yang belum memadai.
            Gubernur Lions Clubs International Distrik 307 B, Lita Tamzil mengatakan, pemerintah diharapkan mau bekerjasama dengan lembaga-lembaga sosial. “Pemerintah tidak mungkin bisa menjangkau semuanya. Pemerintah harus support kita,” ujarnya.
            Lita mengatakan, proses pembuatan kaki dan tangan palsu ini diprediksikan memakan waktu sekitar satu bulan sejak dilakukan pengukuran ini. “Mudah-mudahan bisa sesuai target dan bisa dipakai pada saat konvensi nanti. “Klimaksnya ‘kan pada konvensi di Hotel Panghegar nanti,” kata Lita.
            Sementara itu, Iyus (43), menuturkan, setelah kakinya diukur, ia ingin mempunyai kaki palsu. Dengan adanya kaki palsu, ia bisa membedakan antara menggunakan tongkat yang menopang kakinya selama ini dengan kaki palsu yang didapatnya.
            Ibu asal Sumedang, Jawa Barat ini berharap, setelah memakai kaki palsu bisa membantu aktivitas dalam kesehariannya. Kegiatannya selama ini, selain ibu rumah tangga, pun berdagang.
Tongkat penopang kakinya kini sudah usang. Sejak lama ia berteman tongkat tersebut. Kesehariannya akrab dengannya. Walau dengan kehadirannya tak membantu lebih aktivitasnya, ia tetap memanfaatkannya. “Mudah-mudahan dengan kaki palsu nanti, bisa membantu saya dan bisa berjalan normal,” harap Iyus.
            “Minimal anak di rumah bisa seneng kaki ibunya ada dua lagi,” ujarnya pilu. Dengan kekurangannya, ia katakan, terkadang di lingkungan keluarga pun menjadi masalah tersendiri.
            Rendi Arul (14), menuturkan, selama ini ia hanya menggunakan tongkat untuk membantu nya berjalan. Bukan karena ia tak inginkan kaki palsu, ia tak punyai uang untuk itu. “Kalau pake tongkat kerasa pegel, kaku, jalan aja terganggu,” ujar bocah kelas IX SMP Muhammadiyah Bandung itu.
            Rendi mengaku, meskipun ia menyandang status yang tak sama dengan teman sekolahnya yang lain, ia tetap mengikuti kegiatan belajar mengajar di kelas normal/umum. Walau dengan serba keterbatasan, ia tak putus asa. Ia tetap bersemangat untuk bersekolah. Rendi ingin menjadi lebih baik dan lebih berprestasi lagi dalam dunia pendidikan khususnya.
Mereka para penyandang tuna daksa menggenggam harap, kegiatan sosial serupa bisa terus berlanjut. Lembaga-lembaga sosial lainnya pun harus bisa mengikuti. Pemerintah pun harus ikut andil, ini bagian dari tanggung jawabnya. (*indragusdiman/radarbandung)
           

           

Bersinergi dengan Masyarakat


Bersinergi dengan Masyarakat
Belajar Kewirausahaan Sosial pada Komunitas Hong

Suara musik tradisional karinding terdengar di sela-sela gelaran “Two Days, Social Enterpreneur Summit”. Harmonisasi antara musik tradisional dan suasana sunda tempo dulu jelas terasa. Udara sejuk dan lantunan suara dari alat-alat musik bambu dapat mereka lihat dan rasakan. Mereka yang hadir, sejenak dapat bernostalgia.


Pagi itu, Rabu (2/3), British Council dan Universitas Padjadjaran (Unpad) menggelar “Two Days, Social Enterpreneur Summit” di Komunitas Hong, Jalan Bukit Pakar Utara No. 35, Dago, Bandung. Acara dimulai pukul 08.00 – 15.00 WIB. Kegiatan ini merupakan workshop internasional kewirausahaan sosial. Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Unpad-lah yang menjadi penggagas acara tersebut. Pada rangkaian acara ini, esok akan digelar seminar internasional kewirausahaan sosial di Aula Graha Sanusi Hardjadinata Unpad, Jalan Dipatiukur No. 35, Bandung.


Menurut Dosen Mata Kuliah Kewirausahaan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unpad, Hery Wibowo, kegiatan ini dimaksudkan untuk mendorong spirit kewirausahaan mahasiswa. Dengan workshop inilah mereka diperkenalkan mengenai aplikasi kewirausahaan sosial yang dimaksud. Pun dapat menumbuhkan jiwa kewirausahaan mahasiswa. Para mahasiswa bisa melihat langsung praktik kewirausahaan sosial yang dilakukan oleh Komunitas Hong.


Hery berharap, para mahasiswa bisa belajar dari apa yang dilakukan oleh Komunitas Hong selama ini. “Jangan hanya diam, mereka harus kreatif dan inovatif,” ujar Hery yang juga menjadi panitia gelaran ini.


Selain itu, Hery menuturkan, di kampus para mahasiswa hanya mendapatkan teori, di sinilah aplikasinya. Permainan tradisional Sunda saja jika dikemas menarik, bisa menghasilkan uang. “Belajar dari Komunitas Hong itulah diharapkan dapat menjadi inspirasi sebagai sumber gerakan kewirausahaan mereka,” paparnya lagi.


Herry pun mengatakan, belajarlah dari Komunitas Hong. Dari bahan baku yang ada di sekitar kita saja bisa menghasilkan sesuatu. “Kewirausahaan tidak identik dengan modal ataupun uang banyak, tapi identik dengan kreativitas, kemampuan melihat peluang dan perencanaan yang matang,” katanya.


Tommy Hudkinson hadir pada gelaran tersebut. Ia merupakan perwakilan dari British Council (BC). Hery sedikit bercerita mengenai BC yang notabenenya rekanan gelaran ini. BC ini merupakan asosiasi kewirausahaan sosial di dunia yang berpusat di Inggris. Menurut Hery, gerakan kewirausahaan di Inggris bisa berjalan baik. Tingkat pengangguran dapat berkurang. “Pelayanan sosial yang biasanya tergantung dari budget pemerintah, sekarang udah ‘ngga zaman lagi. Sekarang memanfaatkan profit untuk sosial,” ujarnya.


Dosen Kewirausahaan Sosial FISIP Unpad itu kembali menuturkan, BC menobatkan Bandung sebagai “Creative City”. Kota yang dijuluki Parijs van Java ini sangat kondusif untuk dunia kewirausahaan. Apapun yang ada di kota ini, semua sangat mendukung. Program Corporate Social Responsibility (CSR) ini dibuat untuk mendukung Kota Bandung sebagai “Creative City”. “Jangan hanya slogan saja,” tegas Hery.


Sambil melihat-lihat aneka sajian di Komunitas Hong, Hery menuturkan, apa yang dilakukan anak-anak di Komunitas Hong ini, semoga dapat memotivasi mahasiswa untuk melestarikan permainan tradisional dan budaya sunda. “Semua yang dilakukan mereka, bermanfaat bagi masyarakat dan tentunya menghasilkan profit.  Profit yang diperolehnya, tak lupa untuk berbagi dengan masyarakat sekitar,” imbuhnya.


BC pernah mengadakan penghargaan dalam hal kewirausahaan sosial. Zaini Aliflah sebagai salah satu pemenang penghargaan tersebut. Pria berkacamata ini  akrab dengan sapaan Kang Zaini. Kang Zaini inilah "empunya” Komunitas Hong, Pusat Kajian Mainan Rakyat. Selain menjadi punggawanya Komunitas Hong, ia pun merupakan Dosen Mata Kuliah Kebudayaan Sunda di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung.


Komunitas ini pertama kali dibentuk pada 2005, namun baru diresmikan pada 2008. Mereka bermarkas di Bandung sebelah utara. Sebuah kawasan yang masih sejuk dan asri.


Kang Zaini menjelaskan, untuk para pengunjung, cukup mengeluarkan koceh Rp 50 ribu saja perorangnya. Dengan koceh yang dirogohnya, pengunjung mendapat paket membuat mainan tradisional, bermain bersama, mencoba mainan tradisional hingga menikmati sajian musik karinding. Selain itu, untuk memerolah sajian makanan tradisional, pengunjung cukup menambah biaya Rp 25 ribu perorangnya. Adapun fasilitas lainnya yang ada di sana, di antaranya adalah Leuit Hempul, Saung Gede, Saung Lisung, Saung Jawa, Pelataran Bermain, dan Ampi Teater.
           
Jenis-jenis kaulinan budak (mainan anak) yang ada di Komunitas Hong di antaranya adalah, babalonan (lempar sarung), ucing sumput (petak umpet), boyboyan, jajangkung (enggrang), sorodot gaplok, sondah, kelom batok, dan lain-lain. Hidangan masakan khas Sunda pun dapat mereka nikmati, seperti oseng iwung (tunas pohon bambu), oseng honje (kecombrang), oseng jantung cau (jantung pisang), dan sebagainya.
            
Pria asli Subang, Jawa Barat ini mengenang, pertama kali ia datang ke Bandung, tepatnya Dago, sewaktu masih membujang. Ia tinggal di sana hingga ia pun mendapatkan istri yang ternyata pribumi di sana. Berawal dari cerita itulah, perjalanan eksistensi Komunitas Hong itu. Menurut bapak satu anak ini, dengan adanya Komunitas Hong,  ia ingin bersinergi dengan masyarakat sekitar.
            
Salah satu dari masyarakat sekitar Komunitas Hong adalah Lilis (46). Ia sangat merasakan kontribusi positif dari keberadaan komunitas tersebut. Ibu warga pribumi Dago Pakar ini menuturkan, anak-anak di sini mendapatkan pengetahuan dan wawasan baru. Anak menjadi lebih kreatif dan memiliki solidaritas tinggi. Hingga keuntungan ekonomis pun mereka peroleh. “Pagi-pagi mereka sekolah, siang – setiap Rabu, mereka latihan permainan anak tradisional dan Selasa mereka mendapatkan bimbingan belajar dari Kang Zaini,” ujar Lilis. (*indragusdiman/radarbandung)

           

Ahmadiyah, Islam Mainstream


Ahmadiyah, Islam Mainstream
Menag: Ini Masalah Fundamental, Perlu Adanya Kebijakan Permanen

Pada gelaran Forum Pemimpin Redaksi Jawa Pos Group di Hotel Aston Tropicana, Jalan Cihampelas No. 125-129, Bandung, Rabu (23/3), Menteri Agama RI, Suryadharma Ali memaparkan, Ahmadiyah didirikan di Kota Qodian, India oleh Mirza Ghulam Ahmad pada 23 Maret 1889. Dalam perkembangannya, Ahmadiyah terbagi menjadi dua aliran, yaitu Ahmadiyah Qodian dan Ahmadiyah Lahore. Ahmadiyah Qodian berkeyakinan bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai seorang Nabi sedangkan Ahmadiyah Lahore berpendapat Mirza Ghulam Ahmad sebagai pembaharu. Ahmadiyah masuk ke Indonesia pada 1925 dan terbentuk dua organisasi, yaitu Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) sebagai organisasi pengikut Ahmadiyah Lahore dan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sebagai organisasi pengikut Ahmadiyah Qodiani.
            Dalam perkembangannya, kehadiran JAI di Indonesia mendapat penolakan dari umat Islam. Penolakan tersebut terdiri dari bentuk pernyataan keberatan maupun kerusakan bangunan rumah, masjid dan mushalla milik Ahmadiyah di berbagai daerah. Sikap penolakan juga dilakukan dalam bentuk fatwa yang dikeluarkan MUI pada 1980 yang menyatakan bahwa Ahmadiyah Qodian adalah jemaah di luar Islam – sesat dan menyesatkan. Pada 2005 pun menyatakan bakwa aliran Ahmadiyah Qodian dan Lahore adalah sesat dan menyesatkan.
            Ali menuturkan, dalam rangka menyelesaikan permasalahan JAI, Kementerian Agama bersama-sama dengan Kejaksaan Agung, Kementerian Dalam Negeri, Maber Polri dan beberapa tokoh agama telah melakukan dialog dengan Pengurus Besar JAI sejak 7 September 2007 sampai dengan 14 Januari 2008. Dalam serial dialog itu ditawarkan tujuh alternatif untuk penyelesaian kasus Ahmadiyah, yakni JAI dibubarkan oleh pemerintah, JAI dibubarkan dan melalui proses pengadilan, Ahmadiyah dikategorikan sebagai agama di luar Islam, Ahmadiyah diterima umat Islam arus utama sebagai salah satu aliran dalam Islam, Pemerintah memberi peringatan keras kepada MUI, JAI, GAI, ormas-ormas Islam dan Pemerintah untuk menyepakati bersama langkah penyelesaian yang harus diambil, dengan prinsip kesediaan melakukan “take and give”, dan Ahmadiyah tidak dilarang, tetapi harus menghentikan segala kegiatannya.
            Dari tujuh alternatif itu, JAI memilih alternatif keempat, yakni “Ahmadiyah diterima oleh umat Islam arus utama sebagai salah satu aliran dalam Islam. “Mereka meminta alterntaif  keempat, sebagai Islam mainstream,” kata Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Abdul Djamil.
Djamil mengatakan, anti-klimaks dari semuanya adalah Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri: Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri  pada 9 Juni 2008. SKB 3 Menteri ini sejatinya memberikan jalan adil. Esensinya, tidak menyebarkan paham Ahmadiyah dan memberikan pernyataan keras pada masyarakat mengenai kerukunan beragama dan tidak main hakim sendiri.
            Menurut Abdul Djamil juga, Ahmadiyah ini masalah fundmental. Jelas, umat Islam mengakui dan meyakini bahwa tidak ada nabi selain Nabi Muhammad SAW. Mereka yang mengakui adanya nabi selain Nabi Muhammad SAW itu sesat. Untuk itu, mereka harus dikembalikan ke jalan yang benar. Itulah salah satu tindakan konkritnya dengan meng-Islamkan mereka kembali dengan mengucapkan dua kalimat Syahadat, seperti pada beberapa waktu lalu.
“Karena mengusik masalah fundamental, munculah polemik itu. Kerajaan Saudi Arabia saja melarang penganut Ahmadiyah untuk naik haji. Baginya, Ahmadiyah dikategorikan non-Islam,” tandas Djamil.
Dua tahun sejak terbitnya SKB, kondisi relatif tenang meski masih ada kontroversi di seputar kekuatan SKB tersebut. Pada 2010 kasus-kasus terkait Ahmadiyah mulai bermunculan lagi dan pada puncaknya pada 2011 ini dengan terjadinya kasus bentrokan antara masyarakat dengan warga JAI di Cikeusik, Pandeglang, Banten yang memakan banyak korban. Dalam perkembangannya, kasus ini telah mendorong sejumlah pemerintah daerah di Indonesia untuk mengeluarkan surat keputusan atau sejenisnya yang melarang aktivitas Ahmadiyah di wilayahnya masing-masing, seperti di Jawa Timur, Jawa Barat dan Banten.
Sementara itu, Menurut Menag RI, Suryadharma Ali, solusi yang tepat untuk kasus Ahmadiyah ini adalah melakukan dialog dengan melibatkan banyak pihak dan pengambilan kebijakan permanen. (*indragusdiman/radarbandung)