Ahmadiyah, Islam Mainstream
Menag: Ini Masalah Fundamental, Perlu Adanya Kebijakan Permanen
Pada gelaran Forum Pemimpin Redaksi Jawa Pos Group di Hotel Aston Tropicana, Jalan Cihampelas No. 125-129, Bandung, Rabu (23/3), Menteri Agama RI, Suryadharma Ali memaparkan, Ahmadiyah didirikan di Kota Qodian, India oleh Mirza Ghulam Ahmad pada 23 Maret 1889. Dalam perkembangannya, Ahmadiyah terbagi menjadi dua aliran, yaitu Ahmadiyah Qodian dan Ahmadiyah Lahore. Ahmadiyah Qodian berkeyakinan bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai seorang Nabi sedangkan Ahmadiyah Lahore berpendapat Mirza Ghulam Ahmad sebagai pembaharu. Ahmadiyah masuk ke Indonesia pada 1925 dan terbentuk dua organisasi, yaitu Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) sebagai organisasi pengikut Ahmadiyah Lahore dan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sebagai organisasi pengikut Ahmadiyah Qodiani.
Dalam perkembangannya, kehadiran JAI di Indonesia mendapat penolakan dari umat Islam. Penolakan tersebut terdiri dari bentuk pernyataan keberatan maupun kerusakan bangunan rumah, masjid dan mushalla milik Ahmadiyah di berbagai daerah. Sikap penolakan juga dilakukan dalam bentuk fatwa yang dikeluarkan MUI pada 1980 yang menyatakan bahwa Ahmadiyah Qodian adalah jemaah di luar Islam – sesat dan menyesatkan. Pada 2005 pun menyatakan bakwa aliran Ahmadiyah Qodian dan Lahore adalah sesat dan menyesatkan.
Ali menuturkan, dalam rangka menyelesaikan permasalahan JAI, Kementerian Agama bersama-sama dengan Kejaksaan Agung, Kementerian Dalam Negeri, Maber Polri dan beberapa tokoh agama telah melakukan dialog dengan Pengurus Besar JAI sejak 7 September 2007 sampai dengan 14 Januari 2008. Dalam serial dialog itu ditawarkan tujuh alternatif untuk penyelesaian kasus Ahmadiyah, yakni JAI dibubarkan oleh pemerintah, JAI dibubarkan dan melalui proses pengadilan, Ahmadiyah dikategorikan sebagai agama di luar Islam, Ahmadiyah diterima umat Islam arus utama sebagai salah satu aliran dalam Islam, Pemerintah memberi peringatan keras kepada MUI, JAI, GAI, ormas-ormas Islam dan Pemerintah untuk menyepakati bersama langkah penyelesaian yang harus diambil, dengan prinsip kesediaan melakukan “take and give”, dan Ahmadiyah tidak dilarang, tetapi harus menghentikan segala kegiatannya.
Dari tujuh alternatif itu, JAI memilih alternatif keempat, yakni “Ahmadiyah diterima oleh umat Islam arus utama sebagai salah satu aliran dalam Islam. “Mereka meminta alterntaif keempat, sebagai Islam mainstream,” kata Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Abdul Djamil.
Djamil mengatakan, anti-klimaks dari semuanya adalah Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri: Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri pada 9 Juni 2008. SKB 3 Menteri ini sejatinya memberikan jalan adil. Esensinya, tidak menyebarkan paham Ahmadiyah dan memberikan pernyataan keras pada masyarakat mengenai kerukunan beragama dan tidak main hakim sendiri.
Menurut Abdul Djamil juga, Ahmadiyah ini masalah fundmental. Jelas, umat Islam mengakui dan meyakini bahwa tidak ada nabi selain Nabi Muhammad SAW. Mereka yang mengakui adanya nabi selain Nabi Muhammad SAW itu sesat. Untuk itu, mereka harus dikembalikan ke jalan yang benar. Itulah salah satu tindakan konkritnya dengan meng-Islamkan mereka kembali dengan mengucapkan dua kalimat Syahadat, seperti pada beberapa waktu lalu.
“Karena mengusik masalah fundamental, munculah polemik itu. Kerajaan Saudi Arabia saja melarang penganut Ahmadiyah untuk naik haji. Baginya, Ahmadiyah dikategorikan non-Islam,” tandas Djamil.
Dua tahun sejak terbitnya SKB, kondisi relatif tenang meski masih ada kontroversi di seputar kekuatan SKB tersebut. Pada 2010 kasus-kasus terkait Ahmadiyah mulai bermunculan lagi dan pada puncaknya pada 2011 ini dengan terjadinya kasus bentrokan antara masyarakat dengan warga JAI di Cikeusik, Pandeglang, Banten yang memakan banyak korban. Dalam perkembangannya, kasus ini telah mendorong sejumlah pemerintah daerah di Indonesia untuk mengeluarkan surat keputusan atau sejenisnya yang melarang aktivitas Ahmadiyah di wilayahnya masing-masing, seperti di Jawa Timur, Jawa Barat dan Banten.
Sementara itu, Menurut Menag RI, Suryadharma Ali, solusi yang tepat untuk kasus Ahmadiyah ini adalah melakukan dialog dengan melibatkan banyak pihak dan pengambilan kebijakan permanen. (*indragusdiman/radarbandung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar