Senin, 26 Desember 2011

Bersinergi dengan Masyarakat


Bersinergi dengan Masyarakat
Belajar Kewirausahaan Sosial pada Komunitas Hong

Suara musik tradisional karinding terdengar di sela-sela gelaran “Two Days, Social Enterpreneur Summit”. Harmonisasi antara musik tradisional dan suasana sunda tempo dulu jelas terasa. Udara sejuk dan lantunan suara dari alat-alat musik bambu dapat mereka lihat dan rasakan. Mereka yang hadir, sejenak dapat bernostalgia.


Pagi itu, Rabu (2/3), British Council dan Universitas Padjadjaran (Unpad) menggelar “Two Days, Social Enterpreneur Summit” di Komunitas Hong, Jalan Bukit Pakar Utara No. 35, Dago, Bandung. Acara dimulai pukul 08.00 – 15.00 WIB. Kegiatan ini merupakan workshop internasional kewirausahaan sosial. Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Unpad-lah yang menjadi penggagas acara tersebut. Pada rangkaian acara ini, esok akan digelar seminar internasional kewirausahaan sosial di Aula Graha Sanusi Hardjadinata Unpad, Jalan Dipatiukur No. 35, Bandung.


Menurut Dosen Mata Kuliah Kewirausahaan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unpad, Hery Wibowo, kegiatan ini dimaksudkan untuk mendorong spirit kewirausahaan mahasiswa. Dengan workshop inilah mereka diperkenalkan mengenai aplikasi kewirausahaan sosial yang dimaksud. Pun dapat menumbuhkan jiwa kewirausahaan mahasiswa. Para mahasiswa bisa melihat langsung praktik kewirausahaan sosial yang dilakukan oleh Komunitas Hong.


Hery berharap, para mahasiswa bisa belajar dari apa yang dilakukan oleh Komunitas Hong selama ini. “Jangan hanya diam, mereka harus kreatif dan inovatif,” ujar Hery yang juga menjadi panitia gelaran ini.


Selain itu, Hery menuturkan, di kampus para mahasiswa hanya mendapatkan teori, di sinilah aplikasinya. Permainan tradisional Sunda saja jika dikemas menarik, bisa menghasilkan uang. “Belajar dari Komunitas Hong itulah diharapkan dapat menjadi inspirasi sebagai sumber gerakan kewirausahaan mereka,” paparnya lagi.


Herry pun mengatakan, belajarlah dari Komunitas Hong. Dari bahan baku yang ada di sekitar kita saja bisa menghasilkan sesuatu. “Kewirausahaan tidak identik dengan modal ataupun uang banyak, tapi identik dengan kreativitas, kemampuan melihat peluang dan perencanaan yang matang,” katanya.


Tommy Hudkinson hadir pada gelaran tersebut. Ia merupakan perwakilan dari British Council (BC). Hery sedikit bercerita mengenai BC yang notabenenya rekanan gelaran ini. BC ini merupakan asosiasi kewirausahaan sosial di dunia yang berpusat di Inggris. Menurut Hery, gerakan kewirausahaan di Inggris bisa berjalan baik. Tingkat pengangguran dapat berkurang. “Pelayanan sosial yang biasanya tergantung dari budget pemerintah, sekarang udah ‘ngga zaman lagi. Sekarang memanfaatkan profit untuk sosial,” ujarnya.


Dosen Kewirausahaan Sosial FISIP Unpad itu kembali menuturkan, BC menobatkan Bandung sebagai “Creative City”. Kota yang dijuluki Parijs van Java ini sangat kondusif untuk dunia kewirausahaan. Apapun yang ada di kota ini, semua sangat mendukung. Program Corporate Social Responsibility (CSR) ini dibuat untuk mendukung Kota Bandung sebagai “Creative City”. “Jangan hanya slogan saja,” tegas Hery.


Sambil melihat-lihat aneka sajian di Komunitas Hong, Hery menuturkan, apa yang dilakukan anak-anak di Komunitas Hong ini, semoga dapat memotivasi mahasiswa untuk melestarikan permainan tradisional dan budaya sunda. “Semua yang dilakukan mereka, bermanfaat bagi masyarakat dan tentunya menghasilkan profit.  Profit yang diperolehnya, tak lupa untuk berbagi dengan masyarakat sekitar,” imbuhnya.


BC pernah mengadakan penghargaan dalam hal kewirausahaan sosial. Zaini Aliflah sebagai salah satu pemenang penghargaan tersebut. Pria berkacamata ini  akrab dengan sapaan Kang Zaini. Kang Zaini inilah "empunya” Komunitas Hong, Pusat Kajian Mainan Rakyat. Selain menjadi punggawanya Komunitas Hong, ia pun merupakan Dosen Mata Kuliah Kebudayaan Sunda di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung.


Komunitas ini pertama kali dibentuk pada 2005, namun baru diresmikan pada 2008. Mereka bermarkas di Bandung sebelah utara. Sebuah kawasan yang masih sejuk dan asri.


Kang Zaini menjelaskan, untuk para pengunjung, cukup mengeluarkan koceh Rp 50 ribu saja perorangnya. Dengan koceh yang dirogohnya, pengunjung mendapat paket membuat mainan tradisional, bermain bersama, mencoba mainan tradisional hingga menikmati sajian musik karinding. Selain itu, untuk memerolah sajian makanan tradisional, pengunjung cukup menambah biaya Rp 25 ribu perorangnya. Adapun fasilitas lainnya yang ada di sana, di antaranya adalah Leuit Hempul, Saung Gede, Saung Lisung, Saung Jawa, Pelataran Bermain, dan Ampi Teater.
           
Jenis-jenis kaulinan budak (mainan anak) yang ada di Komunitas Hong di antaranya adalah, babalonan (lempar sarung), ucing sumput (petak umpet), boyboyan, jajangkung (enggrang), sorodot gaplok, sondah, kelom batok, dan lain-lain. Hidangan masakan khas Sunda pun dapat mereka nikmati, seperti oseng iwung (tunas pohon bambu), oseng honje (kecombrang), oseng jantung cau (jantung pisang), dan sebagainya.
            
Pria asli Subang, Jawa Barat ini mengenang, pertama kali ia datang ke Bandung, tepatnya Dago, sewaktu masih membujang. Ia tinggal di sana hingga ia pun mendapatkan istri yang ternyata pribumi di sana. Berawal dari cerita itulah, perjalanan eksistensi Komunitas Hong itu. Menurut bapak satu anak ini, dengan adanya Komunitas Hong,  ia ingin bersinergi dengan masyarakat sekitar.
            
Salah satu dari masyarakat sekitar Komunitas Hong adalah Lilis (46). Ia sangat merasakan kontribusi positif dari keberadaan komunitas tersebut. Ibu warga pribumi Dago Pakar ini menuturkan, anak-anak di sini mendapatkan pengetahuan dan wawasan baru. Anak menjadi lebih kreatif dan memiliki solidaritas tinggi. Hingga keuntungan ekonomis pun mereka peroleh. “Pagi-pagi mereka sekolah, siang – setiap Rabu, mereka latihan permainan anak tradisional dan Selasa mereka mendapatkan bimbingan belajar dari Kang Zaini,” ujar Lilis. (*indragusdiman/radarbandung)

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar