Selasa, 17 April 2012

Stage Photos_Live Performance "Cupumanik" & "Besok Bubar"_Radio Show TV One

Date Taken: April 13, 2012
Location: Radio Show TV One, Pasar Festival, Jakarta


"CUPUMANIK"

Che, Voc. Cupumanik


























"BESOK BUBAR"

Amar, Voc. Besok Bubar in Perform Act.








Arsip_Imlek 2012_Vihara Dhanangun, Bogor

Daripada cuma diarsipkan, mending diposting biar ga' boring.... :)
Foto-foto berikut ini diambil ketika akhir Januari 2012 pada saat Hari Raya Imlek 2012 di Vihara Dhanagun, Jl. Suryakencana, Bogor.


TRANCENDENTAL



PRAY FOR FREEDOM


THE LITTLE CHINESE BOY



THE CANDLES



TAK SIPIT

Sabtu, 07 April 2012

Hakimi dan Penjarakan

Hitam… 
Kelam…
Aku di mata telanjang kalian

Tak ada asas praduga tak bersalah!

Siapa yang menurut kita (seluruh umat manusia) yang dianggap yang pantas untuk menghakimi?

Sadarkan kita,
Tuhanlah yang Maha Menghakimi dan Memberi Keputusan
Menghakimi umat manusia di muka bumi ini

Apakah seorang pendosa besar sekalipun dihakimi langsung olehNya?
Apakah seorang pembunuh sekalipun kontan diberi ganjaran dengan dicabut nyawa olehNya?
Tuhan pun selalu memberikan kesempatan kepada “kaum-kaum hitam-Nya” untuk berubah lebih baik

Apa yang tak mungkin di dunia fana ini (ingat “Kunfayakun-Nya”)?

Kalian hanya menyisakan penjara batin untukku

Penjara batin
Sesakan dadaku…
Menghujam jantung dan hatiku…
Menyayat urat nadiku…
Kucilkanku…
Sudutkanku…

Tersudut dan tersungkur, kini Aku adanya
Namun, tak akan kubiarkan itu berlama-lama
Bangkit dan pulihkan semuanya dengan segera!!!

Keadilan itu relatif
Adil menurutku, belum tentu menurut kalian
Tapi, adilkah ini?
Bijakkah ini?

Itukah balasan terhadap sebuah simbiosa mutualisma yang dibina selama ini?

Hayu 'ah Ulin Ka Bogor! (Episode Pura Parahyangan Agung Jagatkartta)

Foto dan Teks: Indra Gusdiman


Pagi itu, saya segera bergegas tancap gas menuju sebuah tempat yang membuat saya penasaran. Dengan hanya berbekal alamat lokasi seadanya, saya pergi ke luar rumah. Sekitar satu jam kemudian, akhirnya sampai juga di tempat yang dimaksud: Pura Parahyangan Agung Jagatkartta. Rasa penasaran itu terobati sudah.

Pura ini berlokasi di Desa Warung Loa, Kecamatan Taman Sari, Kota Bogor. Akses menuju pura pun tidak sulit (**rute terlampir). *Info terbaru nih...kan katanya jalan sepanjang 1 km dari persimpangan jalan raya Warung Loa dulu rusak. Nah, sekarang udah bagus (masih dalam proses sih, belum rampung semua).

Tepat berada pada lereng Gunung Salak, pura ini berdiri. Seperti layaknya udara pegunungan, kawasan ini masih asri dan sejuk. Jauh dari hiruk-pikuk dan kebisingan. *Betah banget saya lama-lama di sana. Itung-itung refreshing sejenak...hehe...

Dengan latar Gunung Salak yang menjulang, membuat kedua mata saya tidak bosan memandanginya. Walau tampak kurang jelas karena terselimuti kabut tipis, saya masih bisa menikmati panorama nan indah itu. Berikut yang sempat tertangkap mata kamera:

1. Pura Parahyangan Agung Jagatkartta Tampak Depan



2. Mandala Utama (Tempat Ibadah Utama)
*Sempet dimarahin juga masuk area ini. Kata Jro Mangku, ini  khusus buat yang beribadah. Udah gitu, langsung disuruh keluar. Tapi, untungnya udah dapet foto. hehee...Maafkan saya Pak Jro Mangku Nengah.



3. Patung Shri Ganesha



4. Pelinggih (Bangunan Suci) Ratu Gede Dalem Ped Gunung Salak




5. Pelinggih (Bangunan Suci)



6. Pelinggih Ratu Gede Dalem Ped Gunung Salak



7. Bale Pemangku



8. Ngeranjing (Pintu Masuk) Mandala Utama: Akan Bersembahyang *Kayak yang mau ke langit ya? :)



9. Tempat Ibadah Maksudnya...hehe...



10. Papan Informasi Menuju Area Pura



Dari hasil bincang-bincang dengan Jro Mangku (petugas pura) Nengah, saya dapatkan berbagai informasi mengenai pura tersebut. Berikut sedikit deskripsi latar belakang historis Pura Parahyangan Agung Jagatkartta:

Berawal dari munculnya perasaan tenang dan hening ketika berada di tengah alam bebas Gunung Salak, muncul keinginan sekelompok umat untuk membangun sebuah pelinggih (bangunan suci) sebagai fokus konsentrasi pikiran. Keinginan tersebut akhirnya mendapat sambutan dari berbagai pihak, sehingga berkembang ke arah pembangunan pura besar.

Pada 1995 dimulai dengan membangun sebuah candi di satu titik yang diyakini sebagai petilasan Prabu Siliwangi. Hal itu dilakukan sebagai simbol penghormatan kepada leluhur Tanah Sunda. Prabu Siliwangi bersama sesantinya ”Tata Tentram Kerta Rahardja” telah membawa jaman keemasan bagi Pajajaran, kerajaan Hindu terakhir di Tanah Parahyangan. Kehidupan masyarakat dijalankan berdasar penghormatan kepada ajaran leluhur ”Sang Hyang Dharma dan Sang Hyang Siksa”. Masa jaya ini berlangsung selama pemerintahan beliau pada 1482-1521 dan dilanjutkan putranya, Raja Surawisesa, 1521-1535. semua itu tertera pada Prasasti Batutulis yang dibuat pada Saka 1455 atau 1533 M.

Selama proses pembangunan, untuk sementara pura disebut dengan ”Penataran Agung Gunung Salak”. Hingga 2005, atas partisipasi umat perorangan dan institusi, seluruh pelinggih di Utamaning Utama dan Utama Mandala berhasil diselesaikan. Pelinggih tersebut berupa Padmasana, Candi, Anugerah Agung, dua buah Bale Pepelik, Bale Pesamuan Agung, Pengayengan Dalem Peed, Bale Paselang, Pawedan, Peringgilan, Panjang, dan Panggungan.

Setelah kurang lebih 10 tahun melaksanakan pembangunan secara bertahap, akhirnya pada Minggu, 18 September 2005, pura diresmikan dengan ”Parahyangan Agung Jagatkartta”. Peresmian tersebut dilakukan setelah melalui upacara Ngenteg Linggih pada Purnama Ketiga, Redite Pon, Julungwangi atau pada hari, tanggal dan tahun yang sama.*Nih bukti simbolisnya:




*Pasti penasaran dengan pura ini kan? Siapapun boleh masuk tanpa dipungut biaya atau bahkan dipotong pajak. Tapi, tentunya harus mengikuti tata tertib yang berlaku di sana. Salah satunya, wanita yang sedang haid dilarang masuk. Jelasnya, lihat di bawah ini:



Oh iya, setiap 12 September ada upacara Odalan (ulang tahun pura). Kalo mau ke sana pas Odalan aja. Pas banget lagi ada selebrasi itu. Pasti seru...


**Rute Menuju Pura Parahyangan Agung Jagatkartta:

1. Dari Terminal Bus Baranang Siang

Naik angkot 13 jurusan Bantar Kemang – Ramayana ataupun 06 jurusan Ciheuleut-Ramayana turun di Bogor Trade Mall (BTM) disambung kembali dengan angkot 03 jurusan Ciapus-Ramayana (arah Warung Loa)

2. Dari Stasiun Kereta Api Bogor

Naik angkot 02 jurusan Terminal Bubulak / Laladon-Sukasari, turun di Bogor Trade Mall (BTM) disambung kembali dengan angkot 03 jurusan Ciapus-Ramayana (arah Warung Loa).(brw2012)


Orang Tua Otoriter, Didikan Tak Mendidik

“Kamu ga boleh begini, kamu ga boleh begitu! Kamu harus begini, kamu harus begitu!  Kamu ga boleh kuliah di sana, kamu lebih baik kuliah di sini saja. Kamu jangan bergaul sama si A, lebih baik kamu bergaul sama si B”.  Mungkin seperti itulah kata-kata yang biasa dilontarkan orang tua kepada buah hatinya.

Tidak asing lagi fenomena orang tua otoriter yang kian menjadi-jadi dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Terlepas orang tua merupakan sosok yang harus dihormati, realita seperti itu haruslah dihilangkan. Masyarakat, khususnya para orang tua menganggap hal tersebut merupakan sesuatu yang lazim adanya. Mereka beranggapan, sudah seyogianya para orang tua menerapkan hal senada dalam mendidik buah hatinya. Ya, memang biasa. Bisa atau biasa karena terbiasa dan pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan. Sangatlah berbahaya jika sebuah didikan yang tak mendidik tersebut kelak menjadi sebuah kebiasaan dan dianggap lumrah oleh para orang tua.
            
Apakah nenek moyang kita mengajarkan dan mewariskan cara mendidik yang tak mendidik itu? Apakah itu merupakan tradisi turun-temurun? Dalam hal ini tidak bisa saling menyalahkan. Memang tidak semua orang tua memiliki sikap yang otoriter, tergantung kepada individu-individu yang bersangkutan.
            
Sejak kecil anak selalu dididik untuk menghormati, menghargai, santun, dan taat kepada orang tua. Dalam didikan di dalam keluarga, di sekolah, dan didikan kerohanian pun diajarkan hal senada. Di lingkungan keluarga, orang tua mendidik anak agar selalu hormat dan taat kepada orang tuanya, di sekolah, sang guru berpetuah: “Hormatilah ayah dan ibumu”, dalam pendidikan kerohanian pun begitu. Sang ustad (guru ngaji) mengajarkan dan selalu mengingatkan: “Surga ada di telapak kaki ibu”. Dalam riwayat Nabi Muhammad SAW pun diterangkan, Beliau sangat menjunjung tinggi sosok orang tua, terutama sosok ibu.
            
Kembali lagi pada ungkapan di atas: “Bisa atau biasa karena terbiasa dan pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan”. Seperti itulah kenyataan yang ada dan kian bergulir dalam kehidupan masyarakat kita. Kental sekali dengan feodalisme.
            
Tanpa bermaksud mendurhakai orang tua, layangkanlah pertanyaan seperti ini: Apakah orang tua tidak pernah melakukan kesalahan? Apakah orang tua merupakan sosok suci seperti halnya malaikat dan nabi? Di mata Tuhan semua umat manusia itu sama, begitu pun di mata hukum. Di mata Tuhan yang membedakan antara umat manusia yang satu dengan yang lainnya adalah amal, ibadahnya, dan perbuatannya. Semua warga negara memiliki hak yang sama di mata hukum. Tidak ada tebang pilih maupun pengklasifikasian secara khusus. Semuanya diatur dalam Undang-undang Dasar 1945.
            
Cakupan hak asasi manusia sangatlah luas, kita fokuskan saja kepada HAM anak – semuanya diatur dalam Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 20 UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dijelaskan: “Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak”.
            
Dalam UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan: Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan; Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat. Dalam Pasal 3 UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dijelaskan: “Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera”.
           
Berbicara hukum erat kaitannya dengan hak dan kewajiban. Hak-hak anak seperti diamanatkan UU RI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak antara lain: hak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Terkadang orang tua selalu mengabaikan itu. Dalam konteks kehidupan keluarga, kewajiban anak adalah harus menghormati dan taat kepada orang tua. Merekalah yang mendidik dan membesarkan kita. Ketika kewajiban telah dipenuhi si anak, tentunya mereka berhak dalam pemenuhan hak-haknya. Jika dalam hal ini orang tua bersikap otoriter, tidak akan ada timbal balik positif.
            
Kriteria dominan sosok orang tua otoriter adalah selalu mendikte, memerintah, mengkritik, dan menghakimi anak. Ruang gerak anak akan sempit karena batasan-batasan tertentu. Mereka tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan pikirannya. Konsekuensinya, mereka merasa terkekang. Mereka tidak bebas untuk berekspresi karena ruang geraknya dibatasi. Jangan salahkan mereka jika menjadi sosok yang selalu membantah dan memberontak. Akibat dari didikan yang otoriter, mereka rentan labil. Justru terkadang pelampiasan mereka mengarah ke hal-hal negatif.
            
Setiap orang tua ingin menjadi panutan bagi sang buah hatinya, dihormati dan dihargai. Anak-anak pun sangat ingin dimengerti, dipahami, dan dihargai oleh orang tuanya. Berikanlah kesempatan kepada mereka untuk menyampaikan gagasannya, berikanlah dukungan dan kepercayaan kepada mereka, jangan terlalu mendiktenya. Dengan toleransi seperti itu akan mengasah tanggungjawab mereka. Suatu saat mereka harus bisa mandiri. Orang tua cukup memberikan pengarahan dan pengawasan saja, jangan selalu mengintervensi.
            
Dengan didikan yang tak mendidik seperti itulah menyebabkan mental anak-anak bangsa semakin “loyo”. Sejak kecil mereka selalu dijejali perintah-perintah dan larangan-larangan dari orang tuanya tanpa diberi kebebasan dan kepercayaan. Mereka terkesan terbiasa “disuapi”. Berikanlah kebebasan dan kepercayaan kepada mereka agar mereka bisa belajar bertanggungawab. Bebas dalam hal ini adalah bebas yang bertanggungjawab. Jika pola didikan konvensional tersebut diperbaharui, niscaya anak-anak bangsa akan memiliki kemandirian dan bermental “baja”. Pola didik konvensional tersebut sudah cukup kuno untuk diaplikasi saat ini. Alangkah baiknya menjadi orang tua yang lebih bijak dan demokratis.

Dibuang Sayang, Posting Sajalah

Aduh....giliran dibutuhin, arsip foto-foto mendadak menghilang sebagian. Begini nih, akibat ganti-ganti laptop. Ya, daripada disimpen terus, mending diposting ajalah. Nih sedikit penampakkannya:


Kabeh Dulur 





Gedung Sate dalam Mapping Video







Ngunduh Mantu
 



Senyum Si Emak Madura



Mengejar Jerro Wacik



Bupati Bogor Rachmat Yasin, Angkat Bicara


Membara: 







Demo lagi, demo lagi....: